Part 21

450 71 10
                                    

Saat ini Zean masih berada luar kota, begitu sampai di kamar hotel, Zean merebahkan dirinya di kasur setelah seharian penuh rapat dan urusan kerja yang cukup melelahkan. Ia merindukan rumah dan tentu saja merindukan istrinya. Perjalanan ini cukup panjang, dua minggu adalah waktu yang terasa lama bagi mereka, apalagi sekarang dengan kondisi Adel yang semakin emosional. Setiap hari ia menerima pesan dari Adel, entah curhat, mengeluh, atau terkadang merengek manja memintanya segera pulang.

Zean membuka ponselnya dan melihat pesan terbaru dari Adel yang berisi foto dirinya dengan wajah merajuk, diikuti oleh pesan, "Mas, cepet pulang dong... Aku kangen!"

Ia tersenyum, lalu memutuskan untuk meneleponnya. Setelah beberapa dering, layar ponselnya menampilkan wajah Adel yang terlihat bahagia saat melihat Zean muncul di layar.

"Halo Mas!" sapanya dengan suara ceria, meski wajahnya sedikit lelah.

"Halo juga cantiknya Mas. Apa kabar, hmm?" Zean menjawab dengan lembut, menatap wajah istrinya yang jelas-jelas merindukannya.

"Aku baik-baik aja kok Mas, cuma... ya, Mas tahu, rasanya nggak enak kalau nggak ada Mas di sini" ujar Adel dengan nada manja. "Aku jadi nggak semangat kalau lagi sendiri kayak gini."

Zean tertawa kecil. "Iya, iya, aku juga kangen sama kamu sayang. Rasanya lama banget deh, nggak lihat kamu tiap pagi dan malam, Mas kangen meluk kamu"

Adel mengangguk sambil menatap layar. Dia berusaha menguatkan diri untuk tidak merengek, tetapi matanya sedikit berkaca-kaca. Zean menangkap hal itu dan langsung mengalihkan pembicaraan agar suasana lebih ceria.

"Nah, gimana kalau malam ini kita bicara sama jagoan-jagoan kita?" tanya Zean dengan nada yang menggoda.

Adel tertawa kecil, lalu menempatkan ponselnya di dekat perutnya. "Nah, Mas, coba deh bicara sama anak kita. Siapa tahu dia bisa dengar!"

Zean tertawa mendengar ide Adel. Ia memandang ke layar dengan penuh perhatian, seolah-olah bayinya benar-benar ada di sana dan bisa mendengarnya.

"Jagoan-jagoan Ayah..." Zean mulai berbicara dengan suara pelan dan penuh kelembutan. "Kalian baik-baik aja kan di sana? Ayah minta tolong boleh? Ayah minta jangan ngerepotin Bundanya ya? Kasihan Bundanya nangis terus, jadi kalian harus jadi anak yang baik, biar Bundanya nggak nangis lagi, Oke?."

Mata Adel berkaca-kaca, tetapi ia tetap mendengarkan dengan serius, mengelus perutnya sambil tersenyum. Zean melanjutkan, "Ayah janji bakal cepat pulang, jadi kalian bantu Bunda buat sabar nunggu Ayah ya. Jangan rewel sama Bunda, ngerti boys?"

Adel memandangi layar dengan ekspresi hangat, wajahnya tersipu sambil mengangguk pelan, seolah-olah ia mendukung pesan Zean. Kemudian, ia berpaling dan mengelus perutnya sambil berkata, "Dengar kan, Nak? Ayah udah bilang supaya kalian jangan rewel sama Bunda. Ayah bakal pulang cepat-cepat kok."

Zean tersenyum melihat Adel begitu serius berbicara dengan perutnya. Ia tahu momen ini berarti banyak bagi mereka berdua. Setelah beberapa saat berbicara, ia akhirnya memutuskan untuk menenangkan Adel yang tampak sedikit emosional lagi.

"Sayang, Mas tahu ini nggak mudah buat kamu, tapi sabar ya. Sebentar lagi Mas pulang," ujar Zean. "Kalau kamu butuh sesuatu atau ada apa-apa, kabari Mas. Jangan dipendam sendiri."

Adel mengangguk, matanya sedikit berkaca-kaca. "Iya, Mas. Terima kasih ya, kamu memang suami terbaik."

Mereka saling berpamitan dengan senyuman, dan setelah panggilan berakhir, Zean terdiam sejenak, menatap layar ponselnya dengan perasaan hangat. Ia berniat untuk segera menyelesaikan pekerjaannya agar bisa pulang lebih cepat, kembali ke rumah bersama istri tercinta dan calon anak-anaknya yang selalu mengisi hatinya.

My Soulmate (ZeeDel) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang