"Suka itu fitrah, kamu gak bisa mengatur mau suka sama siapa, kamu gak bisa mengatur besar kecilnya kadar rasa suka itu, kamu gak bisa mengatur kapan rasa suka itu akan datang dan hilang. Yang bisa kamu atur hanya satu, yakni cara kamu menyikapi fitrah itu agar tidak menjerumuskanmu ke dalam kemaksiatan."———
"AWAS lic—" pria berpeci putih itu belum sempat melanjutkan kalimatnya tetapi Zahrana sudah lebih dulu terjerembap ke lantai, ia meringis. Berusaha bergerak tapi lagi-lagi malah dibuat mengerang kesakitan.
"Afwan, yang mana yang sakit?" Seorang pria yang tadinya ingin memberi peringatan bahwa lantai kantor sedang licin sebab baru saja di pel kini menghampiri Zahrana lantas bertanya tentang keadaannya.
Zahrana melirik ke arah kakinya sejenak, di luar tampak baik-baik saja tapi, begitu ia ingin berdiri, kakinya terasa sangat sakit.
"Kayaknya pergelangan kaki aku terkilir, tadz," ucapnya sembari memegang pergelangan kaki dan meringis kecil.
"Hmm, sebentar ..." Pria itu menoleh ke arah pintu masuk yang sedang terbuka lebar dan mendapati seorang santri putri yang tengah menyapu halaman kantor, ia kemudian memanggilnya guna meminta tolong membantu Zahrana untuk berdiri.
"Saya minta tolong antarkan Ning ke ndalem, ya, kakinya terkilir jadi harus dibantu untuk berjalan, saya mau bantu tapi kami belum mahrom,"
Santri itu tersenyum sejenak ketika mendengar kalimat terakhir sebelum akhirnya mengangguk. "Nggih, ustadz ...."
Tanpa menunggu lama, santri itu segera membantu Zahrana untuk berdiri.
"Sebentar," ucapan Zahrana menginterupsi pergerakan santri tadi, ia kini tampak merogoh ke dalam tasnya. "Ini buku catatan hafalan santri yang harus dicetak lagi, tadz," lanjutnya memberikan tiga buku berwarna biru tua.
Seseorang yang dipanggil Ustadz itu mengangguk seraya mengambil alih buku yang semula dipegang Zahrana "Baik, nanti saya infokan kalau sudah rampung, ya ...."
Zahrana mengangguk paham, setelahnya, ia berjalan meninggalkan pria itu tanpa berpamitan atau sekadar mengucap salam.
Muhammad Ilzam Ramadhan , atau biasa di kenal dengan sebutan 'Ustadz Rama' itu saat ini berumur 29 tahun dan sedang mengemban amanah di pesantren. Ia adalah anak dari Hisyam Qahaar, teman karib Usman sekaligus donatur tetap di pesantren Al-Ukhuwah.
Usianya yang nyaris berkepala tiga itu membuat sang ayah terus bertanya kapan anaknya itu akan segera memiliki keluarga sendiri. Merasa belum siap, Rama terus melayangkan segudang alasannya, ia bahkan tak peduli meski adik bungsunya sudah melangkahi dirinya. Bagi Rama, menikah itu bukanlah hal yang mudah, butuh mental dan kesiapan yang matang, sedangkan saat ini ia merasa belum siap.
***
"Aduh! Sakit mi ...." pekik Zahrana seraya meringis kesakitan kala pergelangan kakinya dipegang oleh Uminya.
"Lagian kamu gimana sih, Ning, jalannya! Kebiasaan banget gasrak gusruk ndak pernah pelan-pelan," omel Sartika geram, meski begitu, raut wajahnya tetap mengekspresikan kehawatiran.
"Kalo keseleo kaya gini umi ndak berani mijetnya, harus manggil tukang urut," lanjut Sartika kemudian hendak mengambil ponselnya yang diletakkan di meja. Saat tangannya ingin meraih, tiba-tiba fokus Sartika teralihkan pada ponsel putih yang terletak di samping ponsel pintar miliknya.
📞 Panggilan Masuk .... 'Mas'
Sartika menukikkan kedua alisnya, Zahrana adalah anak sulung, jelas saja tidak memiliki seorang kakak, lalu ... siapakah nama kontak di ponsel putrinya yang dinamai 'Mas' itu, belum lagi di samping tulisannya ada embel-embel, emoji hati berwarna merah?
Sartika menoleh sejenak kearah putrinya, terlihat Zahrana sedang mengelus-elus bagian pergelangan kaki tanpa menyadari bahwa ada panggilan masuk sebab ponselnya sedang dalam mode silent.
"Umi keluar dulu, mau nelpon tukang urut," ucap Sartika lalu melengos pergi seraya membawa ponsel Zahrana.
Halo?
Kamu terkilir dibagian mana? Kok bisa? Saya kesana ya!Maaf,
mas ini siapanya Ning Rana, ya?Suara lelaki di balik ponsel itu sontak terhenti, ia merasa ada yang berbeda, selain dari pertanyaan dibalas pertanyaan, suara yang biasa ia dengar selalu lembut kini berubah seperti suara khas ibu-ibu. Tanpa pikir panjang, pria yang menelpon tadi memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak.
Sartika memandang ponsel Zahrana dengan tatapan nanar, sekilas memang tidak ada yang aneh tapi sepertinya, ada sesuatu yang disembunyikan putrinya. Sartika menggeleng cepat begitu pikirannya kemana-mana dan sudah mengarah ke suudzon, ia kemudian memutuskan untuk menuju kamar dan langsung mendapati putrinya itu tampak kebingungan mencari sesuatu.
"Cari ini?" Sartika mengangkat tangan kanannya yang saat ini sedang menggenggam ponsel putrinya. Melihat itu, bola mata Zahrana terbelalak sempurna, ia kemudian beringsut cepat menghampiri Sartika meski dengan jalan yang masih pincang.
"Kamu pacaran?" suara Sartika terdengar pelan dan dingin seolah yakin dengan firasatnya.
"Umi nggak sopan banget ih buka-buka hape anak!" alih-alih menjawab, Zahrana malah berkata demikian dengan bibir yang sengaja ia majukan.
"Jawab, Ning. Kamu pacaran?" ulang Sartika, ia sudah tahu bahwa putrinya itu sedang ingin mengalihkan pembicaraan. Cara klasik, Sartika sudah hafal semuanya.
"Enggak, mi, sumpah, aku cuman ..." Zahrana menggigit bibir bawahnya "cuma suka doang, gak lebih,"
"Jujur,"
"Iya ih beneran, cuma suka doang, emangnya gak boleh ya suka sukaan? Bukannya rasa suka itu fitrah?"
Sartika menarik napas panjang, perasaan, putrinya ini sebentar lagi akan berumur 19 tahun, pantaskah hal seperti ini harus dijelaskan lagi?
"Begini ..." Sartika menuntun Zahrana untuk duduk di tepi kasur "Rasa suka, rasa cinta, rasa kagum, memang itu adalah fitrah alami manusia, ndak ada yang melarang. Tapi, bukan berarti kita bisa seenaknya saja, justru kita sedang di uji apakah fitrah itu akan menjerumuskan kita ke dalam maksiat atau malah bisa membuat diri kita lebih dekat dengan Allah sambil menunggu waktu yang tepat," jeda sejenak.
"Umi ndak melarang sama sekali, Ning mau suka sama siapa aja, asalkan tahu batasan, jangan sampai karena adanya rasa suka, Ning malah terjerumus ke dalam hal-hal maksiat, hal-hal yang dilarang sama Allah,"
"Apalagi kamu itu anak dan cicit dari seorang Kiyai yang punya pesantren besar, di mana apapun yang kamu lakukan sedikit banyaknya akan menjadi contoh, ndak etis rasanya kalo semisal ada kata-kata bahwa seorang Ning berpacaran."
"Ish, aku ndak pacaran, umi ..."
"Kan umi bilang S.E.M.I.S.A.L," balas Sartika penuh penekanan pada kata terakhir.
"Kalo nikah muda gimana?"
"Memangnya sudah siap?"
"....."
————
Bersambung.
hayolo, ketahuan kan kauu Rana😁
btw di sini ceritanya si Rana emg udah suka Raga dari awal ketemu ya, cuma emang sok jual mahal aja, padahal aslinya mah hati dia receh banget kalo liat cowo ganteng😭🤏🏻
Terus juga di part ini mereka belum officially pacaran ya, tapi emang udah sering chatan.
KOK SEORANG NING PACARAN?
yo makanya di simak terus 😁 nanti juga bakal paham kok. Intinya ambil yang baik buang yang buruk yaa.
See u! 😻💗
![](https://img.wattpad.com/cover/380027099-288-k802791.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DI BALIK CANGKANG [on going]
EspiritualTerlahir dari keluarga pesantren menjadi hal yang sangat tidak disukai Zahrana. Sifatnya yang cukup liar membuatnya 'tak betah berada dalam lingkaran kehidupan yang banyak aturannya itu. Terlebih, ia sangat risih dengan perlakuan khusus yang kerap d...