Antagonis (2)

2.9K 678 126
                                    

.

.

.

Dini kini sudah siuman dan gadis itu tengah melamun setelah mendengar perkataan dokter. Pria berjas putih itu menyarankan Dini untuk tidak banyak pikiran serta istirahat yang cukup.

"mbak Dini butuh sesuatu?"

Pertanyaan Jani membuyarkan lamunan wanita itu.

Dini menoleh pada Jani yang tengah melipat pakaiannya. Rupanya bertambah satu lagi orang yang tidak menghakiminya dan tampak tulus padanya.

"Jangan pikir macam-macam mbak, kasian mbak sama dedek bayinya, saya juga bisa jantungan mbak kalo kayak tadi lagi"

Dini hanya tersenyum tipis menanggapi kekhawatiran Jani.

"Saya sudah telepon bapak, tapi belum direspon, mungkin bapak sibuk mbak, nanti saya coba lagi"

Dini tersenyum hampa "gak usah bi, aku juga gak akan lama disini"

"tapi mbak-"

"Bisa minta ponsel aku, bi?"

Dini meneirima ponselnya kemudian segera menghubungi kedua sahabatnya. Dan tak lama kemudian, dua gadis itu datang ke kamar inapnya dengan wajah panik.

Keduanya memeluk Dini bergantian dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Dini sendiri yang entah kenapa tiba-tiba menjadi melankolis tak mampu lagi membendung perasaannya.

Wanita hamil itu menumpahkan tangisannya dalam pelukan kedua sahabatnya. Tangisan itu begitu pilu, seolah ia mengadu akan seluruh beban dan kesakitan yang dirasakannya. Tembok kuat yang dipertahankannya sudah tak lagi ada.

Mendengar segala nasehat dokter tadi, Dini merasa ketakutan. Sekarang ia sadar, ini bukan lagi tentang dirinya, melainkan janin yang ada diperutnya. Harusnya sedari awal ia memang tidak egois mempertahankan egonya.

Lia dan Bina juga ikut menangis sembari memberikan kata-kata penenang. Ah, apa jadinya Dini jika tidak punya dua orang ini? mungkin kini dirinya lah yang berada diposisi Astrid.

Setelah sedikit tenang, Lia dan Bina langsung menyerbu wanita itu dengan berbagai pertanyaan. Pelan-pelan gadis itu menceritakan semua kejadian yang membuatnya merasa kian bersalah dan juga tertekan.

Dini merasa semuanya sudah cukup, mungkin ia memang menganggap dirinya jahat, tapi ternyata ia tidak sejahat itu untuk melihat kehancuran orang-orang disekitarnya.

"it's ok, lo kuat, lo punya kita, lo gak butuh mereka" ucap Lia dan Bina menenangkan.

kini Dini merasa tak berhak lagi untuk tinggal dirumah Dirga. Toh setelah ini, sudah pasti mereka akan bercerai. Dengan sedikit paksaan, Dini akhirnya pulang sore itu juga meski dokter mimintanya untuk tinggal semalam.

Dan sore itu juga Dini yang dibantu kedua sahabatnya langsung berkemas, ia akan pergi. Sejak awal ini bukan rumahnya.

Dini bukan kabur, ia hanya pindah tempat tinggal dan masih di Jakarta. Bina menawarkannya apartement kosong bekas kakaknya yang sudah keluar negeri. Masih sisa dua bulan pembayaran dan setelah itu ia akan membayar sendiri.

Biar begini, Dini juga punya tabungan dan pemasukan, meski tak menentu.

"Mbak, jangan pergi" Sedari tadi Jani hanya menangis sembari melihat Dini dan kedua temannya yang sibuk memasukkan barang.

"Bibi mah, kalo gak mau bantuin ya gak usah kesini ah" ucap Dini sebal pada wanita yang belum juga berhenti merengek itu.

"Jangan begini mbak, kita tunggu bapak dulu" Jani masih berusaha membujuk.

My Short Story (2)Where stories live. Discover now