Seperti yang sudah dijadwalkan, hari Sabtu ini Hayi akan ada sesi pemotretan untuk foto katalog brand pakaian. Namun, sebelum berangkat ke lokasi studio, Hayi mampir dulu ke kafe tempatnya bekerja.
Sedikit info saja, jadwal kerja paruh waktu Hayi di kafe itu ada tiga kali dalam seminggu. Kemudian, shift kerja di kafe itu dibagi menjadi dua, di mana shift pertama dari jam sepuluh pagi sampai jam enam sore dan shift dua dari jam enam sore sampai jam dua belas malam. Kebetulan Hayi mendapat shift dua untuk hari Jumat dan shift pertama selama weekends. Sementara itu, jadwal pemotretannya hari ini adalah di jam dua siang. Akan tetapi, kedatangan Hayi ke tempat kerjanya ini bukan untuk meminta izin.
Saat kerja sama pemotretan itu disepakati beberapa hari lalu, Hayi langsung menghubungi bosnya untuk izin menukar shift pada hari Sabtu ini. Jadi, hari ini ia akan bekerja di shift dua.
"Oh, itu, Yi?" Itu suara bos Hayi yang terdengar langsung menyambut kedatangannya.
Hayi melirik ke arah jam di dinding untuk mengecek waktu yang ternyata masih jam satu. Kemudian ia meletakkan barang yang dibawanya ke atas meja bar di sebelah bosnya yang bernama Fandi itu. "Iya, Bos, ini yang gue bilang semalem," tanggapnya lalu.
Barang berbentuk persegi panjang yang dibungkus dengan kertas kopi itu lalu dibuka oleh Hayi. Di dalamnya terlihat sebuah spanram kanvas yang sudah berisi lukisan. Itu adalah lukisan yang dibuat Hayi pada tengah malam kemarin. Waktu itu masih belum rampung, tetapi ia lanjutkan lagi siangnya hingga jadi seperti itu.
Itulah yang menjadi alasan Hayi mampir ke kafe siang ini. Tadi malam ia menawarkan lukisannya itu untuk dipajang di kafe dan bosnya langsung menyetujui.
"Agak jelek, sih, Bos. Soalnya gue bikin itu pas lagi gabut," ujar Hayi sembari menyerahkan lukisan itu pada Fandi.
Bosnya itu kemudian terdengar mendecih. "Mana ada jelek? Jelas cakep gini. Emang dasar lo-nya aja yang sok merendah."
Hayi pun terkekeh kecil karena perkataan itu. Sebenarnya ia tidak sedang merendah, karena ia yakin mampu membuat yang lebih bagus jika niat. Pada saat membuat itu, ia sedang tidak ada ide sama sekali, makanya ia menilainya sendiri tak terlalu bagus.
"Mau lo pasang harga berapa ini?"
"Eh, nggak usah, Bos. Karya iseng doang itu, mah. Buat menuhin space kosong di sini aja biar keliatan rame," tolak Hayi saat bosnya menawarkan harga untuk lukisan itu. Lagipula, ia sama sekali tak berniat menjualnya dari awal. Ia bahkan sudah senang jika karyanya bisa dipajang di kafe tempatnya bekerja ini.
"Nope! Gue yang nggak bisa kalo gitu. Walaupun cuma buat pajangan, yang namanya seni itu selalu ada harganya. Nggak bisa gue nerima barang-apalagi buat keperluan kafe gue-secara cuma-cuma."
Hayi tersenyum takjub mendengar itu. Fandi memang orang yang sangat bijak dan dermawan. Hayi bisa merasakannya bahkan sejak pertama kali bertemu saat melamar pekerjaan ke kafe ini. Tak seperti kebanyakan pemilik kafe yang punya vibe ngabers, bosnya ini malah punya kesan seperti old money. Mungkin saja memang benar. Hayi tak tahu pasti apa saja pekerjaan Fandi selain sebagai pemilik kafe, tetapi pria itu sering terlihat sibuk berinteraksi dengan para relasinya yang sangat banyak dan selalu tampil dengan outfit yang elegan. Tak jarang Hayi merasa kagum dan mengidamkan gaya hidup seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Carpe diem that is hard to find
Teen FictionDi keluarganya, keberadaannya sering tak dianggap. Bukannya dikucilkan, orang-orang di rumahnya hanya tak mempedulikan ataupun memperhatikannya. Sama sekali tak ada pengaruh khusus dari ada atau tidaknya ia, bagi mereka rumah itu tetap terasa utuh. ...