Kantin Fakultas Seni Rupa dan Desain sedang tidak terlalu ramai. Hayi menempati salah satu tempat di situ dan sibuk berkutat dengan tabletnya. Sesekali menyesap es jeruknya yang sebelumnya sudah ia pesan lebih dulu. Ia sebenarnya tidak sendirian, melainkan bersama teman sekelasnya, tetapi temannya itu sedang ke counter kantin untuk memesan makanan.
Tak lama dari itu, temannya yang bernama Deni itu pun kembali dan mengambil duduk di sebelah Hayi. "Ngedesain mulu. Buat apaan, sih?" celetuk laki-laki itu, yang bagi Hayi malah terdengar seperti gerutuan.
"Passion, Bos. Ngerjainnya nggak perlu ada alasan buat apaan," jawabnya tak serius.
"Alah! Sok-sok passion, ngerjain tugas aja deadliners."
Hayi tertawa menanggapinya. Di kelasnya, Deni memang yang paling akrab dengannya. Laki-laki itu juga yang selalu menampung Hayi jika sedang malas pulang. Walaupun kamar indekosnya tak luas, tetapi Hayi selalu berhasil pulas beristirahat di tempat Deni. Apalagi jika habis ada kegiatan kampus sampai malam, sementara untuk pulang ke rumah Hayi perlu waktu sampai empat puluh menit lebih, maka kamar indekos Deni yang cuma berjarak sepuluh menit menjadi pilihan tempat singgah yang tepat.
"Btw, tugas Estetika lo udah ngerjain?" Deni bertanya lagi, tetapi berganti topik.
Sementara itu, Hayi masih menyambi kegiatannya mendesain di tablet. "Belum. Cuma esai, kan? Gampanglah. Masih lusa juga deadline-nya," jawabnya lalu.
"Nah! Baru juga gue bilang, kan?"
Langsung mengerti konteks yang dimaksud dari selorohan itu, Hayi pun tertawa lagi. Namun, ia tetap merasa tak terima dan terus membantah, "Beda, dong. Ini, kan, tugasnya nulis, agak males gue. Kalo tugasnya berhubungan sama desain, baru gue semangat."
Deni tetap saja meledek dengan ekspresi enggan percaya.
Setelahnya, gurauan mereka itu terpaksa terhenti karena pelayan kantin yang tiba mengantarkan pesanan Deni. Hayi pun menyempatkan untuk mengambil fokus sejenak pada desainnya. Ia memang cukup terdistrak dengan obrolannya bersama Deni. Namun, sesungguhnya ia tidak merasa keberatan sama sekali.
Pelayan tadi kemudian pergi setelah makanan Deni tertata rapi di meja. Deni pun memulai acara menyantap makan siangnya. Akan tetapi, tentunya situasi tak akan dibiarkan hening. Jadi, Deni melontarkan pertanyaan lagi. "Sekarang gue nanya serius, Yi. Dari kelas pertama tadi gue perhatiin lo selalu nyuri-nyuri kesempatan buat ngedesain. Emang buat apaan, sih? Perasaan lagi nggak ada tugas desain."
"Iya, emang. Ini commission sebenernya." Hayi menjawab sambil mengangkat sedikit tabletnya.
"Oh, lo open lagi?"
"Ya, gitu. Lagi BU gue."
Mulut Deni membentuk huruf 'O' sekali lagi. "Pantesan. Gue nggak mikir gitu, karena setau gue lo lagi close commission, kan?"
Hayi mengangguk membenarkan.
"BU buat apaan emang?"
Pertanyaan itu tak langsung dijawab. Hayi terinterupsi sejenak oleh notifikasi di ponselnya. Ternyata pesan dari dosen walinya yang mengirim info program kunjungan studi ke Tiongkok. Hayi pikir notifikasi yang lain.
"Nggak urgent untuk waktu dekat, sih." Lantas Hayi mulai menjawab pertanyaan Deni tadi. "Gue cuma mau nabung buat UKT. Keluarga gue lagi pada kena layoff. Jaga-jaga aja semisal bonyok gue nggak bisa bayarin UKT semester depan, gue ada tombokan gitu. Daripada harus cuti, males banget nambah semester."
Tampak Deni mengangguk-anggukkan kepalanya pelan, sepertinya benar-benar menyimak serta ikut memahami.
Tepat setelah itu ada notifikasi lagi di ponsel Hayi. Kali ini betulan notifikasi yang ia tunggu. Ia membalasi sebentar pesan yang masuk itu, lalu melontarkan pamit pada Deni. "Eh, gue geser duluan, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Carpe diem that is hard to find
Roman pour AdolescentsDi keluarganya, keberadaannya sering tak dianggap. Bukannya dikucilkan, orang-orang di rumahnya hanya tak mempedulikan ataupun memperhatikannya. Sama sekali tak ada pengaruh khusus dari ada atau tidaknya ia, bagi mereka rumah itu tetap terasa utuh. ...