3 | Succumb

108 38 1
                                    

Setelah membeli hadiah ulang tahun untuk Tere, Hayi memutuskan untuk langsung pulang. Kebetulan juga kafe tempatnya bekerja malam ini tutup karena pemiliknya sedang ada acara. Jadi, setelah ini ia tak ada kegiatan apapun lagi dan akan pulang ke rumah lebih awal.

Saat hendak mencari kue ulang tahun tadi, Neo menyarankan untuk memesan kue custom saja, kebetulan Neo punya kenalan yang bisa membuatnya. Sehingga mereka pun tak jadi ke toko kue dan beralih ke toko gadget. Hayi ingat kalau Tere suka bermain game, maka ia menyarankan untuk membelikan perempuan itu headset. Namun, Neo malah menambahkan mouse juga. Tadinya Hayi mau komplain, tetapi Neo bilang biar dia saja yang membayar. Hayi pun turut setuju, karena memang alasan awalnya adalah karena dirinya yang tak punya uang lebih untuk patungan.

Sampai di rumah, setelah memasukkan motornya ke garasi, Hayi singgah sebentar di ruang makan. Salamnya tadi tak ada yang menjawab, membuatnya heran soal keberadaan orang-orang. Namun, pintu rumahnya tak dikunci, maka seharusnya ada orang di rumah.

Tangannya kemudian meraih sebuah gelas dan menuangkan air ke dalamnya. Ia meneguknya sampai habis, lalu mendengkus kecil. Hayi tak lanjut lebih jauh memikirkan pasal keberadaan orang-orang di rumah. Toh, keberadaannya saja jarang dianggap di rumah ini. Jadi, bukan hal yang mengherankan lagi jika tak ada yang menyambut kepulangannya. Lantas ia beranjak ke kamarnya.

Begitu masuk, Hayi langsung menghidupkan lampu, isi kamarnya pun jadi terlihat lebih jelas. Barang-barangnya memang cukup banyak. Terutama alat-alat melukis dan menggambar, seperti kanvas, easel, spanram, dan sebagainya yang ia tempatkan di sisi dekat jendela yang berseberangan dengan pintu. Di sebelah kiri dari itu ada kamar mandi. Sedangkan ruang sisanya terisi ranjang tidur ukuran nomor tiga, nakas, lemari, dan meja belajar. Alhasil, kamarnya jadi terlihat penuh.

Luas kamarnya adalah empat setengah meter kali empat meter. Memang cukup luas, tetapi kalau dibandingkan dengan kamar lain di rumah ini yang luasnya empat setengah meter kali enam meter, tentu kamarnya lebih kecil. Sebenarnya, kamar yang ia tempati ini adalah kamar untuk asisten rumah tangga. Dulu ia punya kamar sendiri yang luasnya sama dengan kamar yang lain. Namun, karena bapaknya membeli mobil dan kebetulan kamarnya berada di depan, sehingga kamarnya dulu dijadikan ruang tamu dan ruang tamu yang dulu diubah menjadi garasi.

Akhirnya, Hayi terpaksa menempati kamar pembantu yang tidak terpakai. Meski begitu, ia tetap bersyukur. Setidaknya ia punya ruang privasi dan masih bisa leluasa melakukan aktivitas kegemarannya di kamar ini. Selain itu, ia jadi punya kamar mandi sendiri tanpa perlu mengantre setiap pagi. Bahkan, menurutnya kamar ini pun masih lebih luas jika dibandingkan dengan kamar indekos temannya.

Hayi tidak mengklaim keluarganya kaya. Namun, dari segi luas, rumahnya memang termasuk mewah. Atau mungkin, dulu keluarganya memang pernah termasuk dalam kalangan menengah atas, sehingga bisa memiliki aset yang lumayan bagus, tetapi kondisi itu tak terus bertahan. Pasalnya, kini keekonomian keluarganya makin sulit. Ia sering mendengar orang tuanya mengeluh soal biaya yang dikeluarkan orang-orang di rumah ini.

"Kak?"

Hayi baru meletakkan tasnya dan duduk di kursi meja belajar. Seruan yang dibarengi dengan ketukan di pintu itu membuatnya terinterupsi. "Masuk," tanggapnya.

Sosok Hafi muncul setelah pintu terbuka. "Sibuk, nggak?"

Hayi sempat mengernyit, tetapi tak menunggu lama membiarkan keheranannya menetap. "Kenapa?" tanyanya frontal.

"Bisa bantuin buat gambar, nggak? Aku ada tugas seni budaya."

Kali ini Hayi menatap sedikit lebih lama. Sudah ia duga kalau orang-orang di rumah ini hanya mencarinya jika butuh sesuatu. "Kok, lo bisa tau kalo gue ada di rumah?"

Carpe diem that is hard to findTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang