01

2 0 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Harris baru saja tiba di Bandung, kota yang jarang ia kunjungi sebelumnya. Sepi, dingin, dan penuh kenangan yang belum ingin ia kenang. Dengan mata yang menatap lurus ke depan, ia berjalan menyusuri trotoar, mendekati rumah barunya.

Di sebelahnya, ayahnya yang sibuk dengan ponselnya hanya sesekali mengalihkan pandangan, berbicara tentang pekerjaan yang tampaknya lebih penting dari apa pun di dunia ini. Harris tak peduli.

Ia lebih suka seperti ini—sendirian, terpisah dari keramaian, dan jauh dari segala hal yang bisa mengguncang dunianya lebih jauh.

Setibanya di rumah baru, Harris membuka pintu rumah yang terasa asing, seakan tak pernah ada rasa rumah di sini. Sebuah rumah mungil dengan dua kamar tidur, dapur kecil, dan ruang tamu yang hanya diisi beberapa perabot sederhana.

Ayahnya langsung masuk ke ruang kerja, menyelesaikan panggilan telepon. Harris menghela napas panjang, menanggalkan jaketnya, dan duduk di dekat jendela, menatap luar dengan tatapan kosong.

**

Amara, di sisi lain, selalu menemukan kenyamanan di Bandung. Kota ini lebih dari sekadar tempat tinggal baginya; itu adalah tempat di mana ia bisa menemukan warna dan ekspresi.

Pagi itu, seperti biasa, ia melangkah keluar dari rumah dengan semangat yang tak tergoyahkan, meski dalam hatinya ada yang kosong. Ia tak bisa membantahnya, rasa kesepian itu selalu datang tanpa diundang, apalagi setelah malam yang penuh pertengkaran antara orang tuanya.

Namun, Amara berusaha keras menyembunyikan rasa itu di balik senyum cerianya. Di dunia seni, dia adalah bintang yang bersinar. Setiap orang yang melihatnya akan selalu terpesona oleh semangat dan kehangatan yang ia pancarkan.






Hari itu, Amara menjadi pembicara dalam acara seni di Dago, berbicara tentang lukisan-lukisan warna-warni yang ia buat dengan penuh cinta. Di depan audiens yang penuh antusias, ia menyampaikan setiap makna dari karyanya dengan suara yang penuh semangat.

Tapi di suatu sudut ruang, ada sosok yang tak pernah berpaling, hanya diam dan mengamati. Harris, dengan matanya yang seolah tak terikat pada dunia di sekitarnya, hanya duduk di sana, menyaksikan Amara berbicara.

Amara merasa ada sesuatu yang berbeda dengan pandangannya. Bukan seperti yang lain yang hanya tertarik pada kata-katanya atau lukisannya, melainkan sebuah ketenangan yang terasa begitu asing.

Dalam sekejap, mata mereka bertemu, meski hanya sekilas. Namun, bagi Amara, itu adalah pertemuan yang aneh. Ada sesuatu yang menarik, sekaligus menantang, dalam tatapan Harris yang penuh misteri.

Setelah acara selesai, Amara turun dari panggung dan langsung bergegas keluar, mencari angin segar di luar gedung. Ia berharap bisa melupakan ketegangan yang masih ada di rumah, namun kenangan tentang pertemuan itu terus membayanginya.

Harris, dengan ketenangan yang tak biasa, hanya mengamati dari kejauhan, seperti bayangan yang mengintip tanpa berkata sepatah kata pun.


Di kota yang penuh warna ini, dua dunia yang begitu berbeda mulai bersinggungan, meski tak ada kata-kata yang terucap.

Harris dengan misterinya, dan Amara dengan senyumnya yang dipaksakan.

Di sinilah semuanya dimulai, tanpa mereka sadari, takdir mereka sudah mulai saling menarik, seperti dua garis yang tak akan pernah sejajar, namun selalu berada dalam jarak yang saling menghubungkan.

:::

tbc.

Bandung • HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang