05

1 0 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





Amara duduk di meja dekat jendela kafe kecil di Braga, menatap hiruk-pikuk kota yang tak pernah benar-benar sepi. Setiap sudut jalan, setiap lampu yang berkedip, dan setiap langkah orang yang lewat terasa seperti bagian dari cerita yang tak pernah selesai.

Sejak pertemuan terakhirnya dengan Harris—di mana ia hanya bisa diam dan menyaksikan betapa bingung dan terpuruknya pria itu—Amara merasa ada jarak yang semakin lebar di antara mereka.

Ia memutar cangkir kopi di tangannya, menunggu dengan pikiran yang buntu, hingga suara pintu kafe yang terbuka menarik perhatiannya.

Harris masuk, wajahnya terlihat lelah, namun matanya tampak lebih tenang dari sebelumnya. Dengan langkah hati-hati, ia mendekati meja Amara dan duduk tanpa mengucapkan kata pertama. Hanya ada beberapa detik hening sebelum Harris membuka mulutnya.

“Aku minta maaf,” katanya, suaranya terdengar rendah, penuh penyesalan. “Aku tahu aku... meninggalkanmu begitu saja, tanpa penjelasan.”

Amara memandangnya, merasakan ada kejujuran dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya. Ia mengangguk pelan, tidak mengatakan apapun untuk beberapa saat.

Semua perasaan yang sempat tercampur dalam hatinya—kecewa, bingung, terluka—perlahan mulai mereda.

“Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan waktu itu,” lanjut Harris, suaranya semakin lemah. “Ibuku ingin aku kembali ke Jakarta. Aku... aku merasa terjebak di antara dua dunia. Tapi sekarang, aku sadar, aku harus menentukan jalan hidupku sendiri.”

Amara menatapnya dalam-dalam, merasakan ada kelegaan yang mulai mengalir di antara mereka. Harris, yang selalu tampak tertutup dan penuh rahasia, kini membuka hatinya dengan cara yang berbeda.

“Kamu sudah memutuskan?” tanya Amara dengan suara tenang, meskipun hatinya penuh keraguan.

Harris menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Ya. Aku memutuskan untuk tetap tinggal di Bandung. Aku ingin memperbaiki hubunganku dengan ayahku, dan aku ingin mengejar seni, itu yang aku inginkan sejak lama.”

Amara tersenyum lembut, merasa sedikit lega mendengar keputusan Harris. Meskipun perasaan mereka tidak langsung kembali seperti dulu, ada kejelasan dalam kata-kata Harris yang menguatkan mereka berdua.

“Aku nggak tahu kalau kita bisa kembali seperti dulu,” kata Amara, suaranya pelan, “tapi aku akan mendukungmu. Apa pun keputusanmu.”

Harris menatapnya dengan mata yang penuh rasa syukur. “Terima kasih, Amara. Aku akan berusaha untuk lebih baik, untuk kita berdua.”

Mereka duduk dalam keheningan untuk beberapa lama, tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan lagi. Amara tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah.

Mereka berdua masih memiliki banyak luka yang harus disembuhkan, tapi setidaknya, mereka mulai berjalan di jalan yang sama—meskipun pelan.

Akhirnya, setelah beberapa saat, Amara menyandarkan punggungnya di kursi dan tersenyum tipis. “Jadi... mau melanjutkan obrolan tentang seni kita yang tertunda?”

Harris tertawa pelan, dan di sana, di kafe kecil yang hangat itu, mereka memulai babak baru—tidak bersama dalam hubungan yang sama seperti dulu, tapi dengan pemahaman yang lebih dalam tentang satu sama lain.




:::

jadi guys sebenernya aku udh nulis cerita ini sampe tamat hehe....



tbc.

Bandung • HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang