02

1 0 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Amara melangkah pelan menuju rak buku di perpustakaan, matanya melayang-layang mencari bahan untuk tugas seni yang harus dikumpulkan minggu depan.

Namun, langkahnya terhenti ketika melihat sosok yang tak asing. Harris. Dia duduk di sudut perpustakaan, buku sketsa di tangan, mata terfokus pada garis-garis yang ia gambar dengan penuh perhatian.

Amara terdiam sejenak. Sejak pertama kali dia melihat Harris, ada sesuatu yang selalu menarik perhatian—cara dia menghindari keramaian, wajah yang tak pernah sepenuhnya terbuka. Rasa ingin tahu mulai mengusik. Tanpa berpikir panjang, Amara mengambil keputusan untuk mendekat.

"Hei," sapanya dengan suara pelan, berusaha agar tidak mengganggu konsentrasi Harris.

Harris tidak segera menoleh. Hanya jarinya yang terus bergerak, menggambar sebuah bentuk abstrak yang mulai mengisi halaman sketsa. Sepertinya, dia tidak begitu peduli dengan keberadaan Amara. Namun, Amara tidak menyerah begitu saja.

"Kenapa selalu menggambar di sini? Bukannya lebih enak di luar?" tanya Amara, berusaha membuka percakapan.

Harris akhirnya mengangkat kepala, matanya menatap Amara dengan tatapan kosong. "Gambar di luar banyak gangguan," jawabnya singkat, kembali menatap bukunya.

Amara merasa sedikit bingung dengan sikap Harris yang terkesan dingin dan tertutup. Namun, rasa penasaran yang tumbuh membuatnya tetap bertahan.

"Jadi kamu suka seni?" Amara melanjutkan, berusaha menggali lebih dalam.

Harris mengangguk pelan. "Seni itu... salah satu cara untuk melupakan," jawabnya, masih dengan nada datar.

Amara terkejut mendengar kalimat itu. Ada kesedihan yang tersembunyi dalam kata-kata Harris, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Amara merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar seni di balik kata-katanya.

"Melupakan apa?" Amara bertanya, hampir tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.

Harris menatapnya sejenak, lalu kembali menunduk. "Lupakan saja."

Namun, meskipun jawabannya singkat dan tegas, Amara merasa ada ketertarikan untuk terus mengenalnya. Dalam hati, dia tahu ada cerita yang lebih dalam di balik sikap dingin Harris.






Sejak pertemuan pertama itu, Amara sering menemui Harris di tempat-tempat seni yang tak begitu ramai. Kadang di Gedung Sate, tempat yang penuh dengan cerita sejarah.

Atau di Alun-Alun Kota, di mana langit Bandung yang cerah menjadi latar belakang yang sempurna untuk berdiskusi tentang seni dan kehidupan. Di setiap pertemuan, percakapan mereka mulai membuka sisi lain dari diri Harris yang sebelumnya tak terlihat.

Amara tahu, di balik sikap dingin dan kesendirian Harris, ada luka yang belum sembuh. Namun, setiap pertemuan membuat Amara semakin ingin membantu Harris, meskipun dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya.

Di antara coretan-coretan gambar di buku sketsa Harris, Amara merasa ada potongan-potongan kisah yang hanya bisa ia pahami jika ia terus berusaha mendekat.

Begitulah, pertemuan yang tidak pernah direncanakan itu mulai menjadi awal dari perjalanan panjang mereka berdua.



:::

tbc.



Bandung • HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang