03

0 0 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Beberapa minggu setelah pertemuan pertama mereka di perpustakaan, Amara merasa semakin dekat dengan Harris. Ia tidak tahu pasti mengapa, tapi setiap kali bertemu dengan Harris di tempat-tempat seni, dia merasa seperti menemukan bagian dari dirinya yang selama ini hilang.

Harris mungkin tidak banyak bicara, tapi ada cara tertentu yang membuat Amara merasa dihargai dalam setiap percakapan singkat mereka.

Suatu hari, saat mereka duduk di sebuah kafe kecil di dekat Alun-Alun Kota, Amara mengajak Harris untuk melakukan sesuatu yang berbeda.

"Kenapa nggak coba ikut kompetisi mural yang diadakan minggu depan? Mungkin ini kesempatan bagus buat kamu," ujar Amara sambil menyeruput kopinya.

Harris menatap Amara dengan tatapan bingung. "Kompetisi? Aku nggak yakin aku bisa," jawabnya pelan, matanya kembali mengarah pada buku sketsanya.

Amara menunduk, sedikit kecewa dengan tanggapannya. "Tapi kamu kan berbakat, Harris. Aku sering lihat gambarmu, mereka keren. Kenapa nggak coba? Aku yakin kamu bisa menang."

Ada ketegangan dalam diam mereka. Harris tampak ragu, namun Amara bisa merasakan adanya sedikit keinginan untuk mencoba, meskipun dia tidak mengakuinya.

"Ini bukan soal menang," jawab Harris akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Aku nggak tahu apakah aku pantas untuk itu."

Amara terkejut mendengar kalimat itu. "Pantas? Harris, kamu berbakat banget. Kenapa kamu merasa nggak pantas?"

Harris menarik napas panjang, menutup buku sketsanya, dan menatap Amara dengan pandangan yang berbeda. "Aku... aku nggak pernah bisa mempertahankan apapun. Ayah dan ibu bercerai, aku merasa kalau itu semua salahku. Aku nggak bisa menjaga mereka, nggak bisa membuat mereka bahagia."

Amara terdiam, kata-kata Harris menyentuhnya lebih dalam dari yang dia kira. Dia bisa melihat betapa dalam luka yang tersembunyi di balik sikap dingin Harris.

"Apakah kamu merasa... kalau semua ini ada hubungannya dengan kamu?" tanya Amara pelan, hampir takut jika pertanyaannya terlalu tajam.

Harris mengangguk pelan, matanya menunduk, menghindari pandangan Amara. "Aku merasa kalau aku nggak cukup baik untuk keluarga itu. Kalau aku bisa menggambar, mungkin itu satu-satunya cara aku bisa mengekspresikan apa yang aku rasakan, apa yang aku nggak bisa ungkapkan."

Amara merasakan ada kesedihan yang begitu dalam di balik kata-kata Harris, dan ia ingin sekali membantu. "Aku mengerti," jawabnya dengan lembut.

"Tapi jangan biarkan itu menahanmu. Kamu berhak untuk mencoba dan menunjukkan apa yang bisa kamu lakukan."

Ada jeda lama di antara mereka. Amara merasa kata-katanya bisa sedikit meresap ke dalam diri Harris, meskipun ia tahu luka itu tak akan mudah sembuh.

Setelah beberapa hari, Amara kembali menemui Harris, kali ini membawa berita tentang kompetisi mural yang akan segera dimulai. Ia tahu Harris masih ragu, namun kali ini ia lebih yakin. "Aku akan mendukungmu, Harris. Kamu nggak sendirian."

Harris menatapnya, sedikit terkejut dengan dukungannya. "Tapi aku takut, Amara. Takut kalau aku gagal."

"Kalau gagal nggak apa-apa," jawab Amara dengan senyum yang tulus. "Yang penting kamu coba. Tunjukkan apa yang kamu bisa, apapun hasilnya."



Seiring berjalannya waktu, mereka mulai berbicara lebih banyak. Harris, yang dulu sangat tertutup, mulai membuka diri sedikit demi sedikit.

Suatu malam, ketika mereka duduk di taman kota setelah melihat pameran seni lokal, Harris mulai bercerita lebih dalam tentang dirinya.

"Aku nggak pernah merasa cukup," katanya, suara serak. "Aku merasa selalu gagal dalam setiap hal yang penting, mulai dari keluarga sampai hubungan."

Amara menatapnya, hati mulai merasakan beban yang sama. "Aku juga merasa begitu, Harris. Di rumah, aku merasa orang tuaku akan berpisah. Aku nggak tahu harus bagaimana."

Harris terdiam, matanya menatap Amara dengan cara yang penuh pengertian. "Mungkin kita sama-sama merasa nggak cukup, ya?" ujar Harris pelan. "Tapi bukan berarti kita nggak bisa berbuat sesuatu, kan?"

Amara mengangguk, merasa ada ikatan yang semakin kuat antara mereka berdua. "Kita mungkin nggak bisa mengubah semuanya, tapi kita bisa memilih bagaimana kita menghadapi itu."

Dalam keheningan malam itu, di bawah cahaya lampu taman yang redup, keduanya merasa sedikit lebih ringan. Meski masalah besar masih ada di masing-masing hati mereka, setidaknya mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian.

Langkah-langkah kecil mereka untuk saling mengerti dan mendukung, mulai menumbuhkan harapan baru.

Bahkan, ketika Harris akhirnya memutuskan untuk mengikuti kompetisi mural itu, Amara merasa bahwa perjalanan mereka berdua baru saja dimulai.


:::

tbc.





Bandung • HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang