04

0 0 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pagi itu, langit Bandung terlihat lebih cerah dari biasanya, menyambut hari yang telah dinanti-nanti. Kompetisi mural yang telah disiapkan sejak berbulan-bulan lalu akhirnya tiba.

Di antara deretan seniman muda, Harris berdiri dengan penuh konsentrasi, matanya tajam menatap kanvas kosong yang terletak di hadapannya.

Tangan kanannya sudah memegang kuas, siap untuk mulai menggambar. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada ekspresi wajahnya hari itu—seperti ada beban yang berat mengganjal hatinya.

Amara berdiri tak jauh dari sana, mengawasi Harris dengan penuh perhatian. Sejak beberapa minggu terakhir, ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam diri Harris.

Dia lebih pendiam, jarang berbicara, dan selalu menghindari pertanyaan Amara tentang hal-hal yang mengganggu pikirannya. Amara tahu bahwa Harris sedang berjuang dengan sesuatu yang besar, tetapi ia tidak tahu apa itu.

Ketika akhirnya Harris mulai melukis, Amara bisa melihat betapa dalam perasaan yang dituangkan di kanvas.

Lukisan itu mulai terbentuk, menggambarkan sebuah keluarga, seorang ayah dan seorang ibu, serta seorang anak yang tampak penuh pergulatan emosional.

Di wajah mereka tergambar ketegangan dan rasa kehilangan. Amara tahu ini bukan sekadar lukisan tentang keluarga biasa—ini adalah cerita pribadi, cerita yang Harris simpan rapat-rapat dalam hatinya.

Namun, tiba-tiba, suasana tenang itu terganggu oleh suara langkah kaki. Amara menoleh dan terkejut melihat seorang wanita yang berjalan mendekat.

Wanita itu mengenakan pakaian rapi, wajahnya menunjukkan kekhawatiran dan keseriusan. Ketika wanita itu berhenti di depan Harris, ekspresi wajahnya berubah menjadi penuh harapan. Amara menyadari bahwa itu adalah ibu Harris.

"Ibu?" Harris terkejut, suara lelaki itu serak seketika.

Ibunya menatap Harris dengan mata penuh emosi. "Harris, sudah waktunya kamu pulang. Ayahmu sedang kesulitan. Kamu harus kembali ke Jakarta," katanya dengan nada memohon. "Kita bisa mulai lagi, seperti dulu."

Harris terdiam, tatapannya kosong, seolah berjuang dengan kata-kata yang ingin ia ucapkan. Di matanya terlihat perasaan bingung yang mendalam.

Di satu sisi, ia ingin tinggal di Bandung, dengan hidupnya yang lebih bebas, lebih tenang, dan lebih dekat dengan dunia seni yang kini ia cintai. Namun, di sisi lain, ada harapan ibunya yang mengikatnya untuk kembali ke Jakarta dan menjalani kehidupan yang sudah lama ia tinggalkan.

Amara berdiri di belakang mereka, merasa terjebak dalam ketegangan yang semakin tebal. Ia bisa merasakan betapa berat keputusan yang harus diambil Harris, dan seketika itu pula, ia merasa dirinya menjadi bagian dari ketegangan itu—sebuah pengalih perhatian sementara.

Harris menatap lukisannya, lalu menatap ibunya, dan akhirnya ia mengalihkan pandangannya ke Amara. Sekilas pandang itu penuh dengan rasa bersalah, namun Harris tidak berkata apa-apa.

"Amara," Harris akhirnya memanggil nama Amara, suara itu penuh dengan keraguan. "Aku—aku harus pergi sebentar."

Amara merasa dadanya sesak. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, tidak ada alasan. Harris berjalan menjauh tanpa menoleh lagi, meninggalkan Amara yang kini merasa seperti terbuang.

Ia berdiri terpaku, matanya memandang lukisan yang belum selesai itu, seolah Harris sedang melukis sebuah cerita yang lebih besar dari apa yang bisa ia pahami.

Hatinya terluka. Semua waktu yang mereka habiskan bersama, semua percakapan tentang seni, tentang impian, terasa seperti hanya kebohongan sementara. Amara merasa seperti bukan bagian dari dunia Harris yang sebenarnya.

Seperti dirinya hanyalah pengalih perhatian sementara, sesuatu yang tak pernah ada dalam rencana besar hidup Harris.

Ketika Amara kembali ke tempat duduknya, ia merasakan sebuah keheningan yang dalam. Dalam kesendirian itu, ia merenung, memikirkan apakah ia telah terlalu terjebak dalam dunia Harris—dunia yang bahkan ia sendiri tidak tahu apakah ia benar-benar memiliki tempat di sana.



:::

tbc.

Bandung • HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang