19 | bad influence?

48 6 0
                                    

Di siang yang hangat, cahaya matahari menembus jendela kamar Jihoon, memberikan suasana lembut namun tetap sepi. Jihoon hanya terbaring di tempat tidurnya, wajahnya masih pucat. Di sampingnya, Youngjae duduk di kursi dengan ekspresi penuh perhatian, tangannya memegang gelas berisi air hangat.

"Jihoon, kamu yakin nggak mau makan dulu?" tanya Youngjae lembut, suaranya hampir berbisik.

Jihoon menggeleng pelan sambil menatap langit-langit kamar. "Aku nggak lapar, Youngjae. Perutku rasanya mual."

Youngjae menghela napas panjang, lalu meletakkan gelas di meja kecil di samping tempat tidur. "Kamu nggak bisa terus kayak gini. Kalau nggak makan, gimana mau cepat sembuh?"

Jihoon menoleh sedikit, melihat Youngjae yang terlihat lebih khawatir daripada dirinya sendiri. "Aku cuma butuh istirahat. Jangan terlalu khawatir."

Youngjae mencondongkan tubuhnya, menatap Jihoon lebih serius. "Aku nggak bisa nggak khawatir. Kalau kamu sakit, semua orang juga pasti ikut khawatir. Kamu tahu kan, Hanjin sampai tadi pagi terus bolak-balik cek kamu."

Jihoon tersenyum tipis, meskipun senyumnya terlihat lemah. "Dia terlalu peduli. Kamu juga, Youngjae. Nggak usah repot-repot jagain aku."

"Repot apanya? Aku di sini karena aku mau," jawab Youngjae tegas. "Kalau kamu nggak mau makan, gimana kalau aku buat bubur? Minimal kamu harus makan sedikit."

Jihoon menggeleng lagi, tapi kali ini dengan ekspresi lebih lembut. "Youngjae, kamu terlalu baik. Aku beneran nggak bisa makan sekarang. Nanti kalau aku lapar, aku janji bakal makan."

Youngjae terdiam sejenak, menatap Jihoon yang terlihat sangat lemah. Hening menyelimuti ruangan selama beberapa detik sebelum Youngjae akhirnya bicara lagi.

"Jihoon, kalau ada apa-apa, bilang ke aku, ya. Jangan dipendam sendiri."

Jihoon menutup matanya sejenak, mencoba merasakan perhatian Youngjae yang begitu tulus. Setelah beberapa detik, ia membuka matanya lagi dan mengangguk pelan. "Iya, aku ngerti. Terima kasih, Youngjae."

Youngjae tersenyum tipis, meskipun di dalam hatinya masih merasa khawatir. Ia meraih selimut dan menutup tubuh Jihoon dengan lebih rapi, memastikan temannya tetap hangat. "Kalau gitu, kamu istirahat aja dulu. Aku bakal tetap di sini kalau kamu butuh sesuatu."

Jihoon hanya mengangguk tanpa bicara lagi. Melihat temannya itu kembali terlelap, Youngjae memutuskan untuk duduk tenang di sampingnya, memastikan Jihoon tidak merasa sendirian meskipun siang itu begitu sunyi.


-----

Langkah Kyungmin dan Shinyu terdengar berirama di atas jembatan tua yang menghubungkan dua sisi bukit kecil. Angin sore bertiup lembut, membawa aroma hutan basah dan kenangan yang tak terhindarkan. Shinyu berjalan lebih dulu, tangannya dimasukkan ke dalam saku jaketnya, sementara Kyungmin mengikuti di belakang dengan senyum ringan yang terukir di wajahnya.

"Ini tempat yang tenang," gumam Kyungmin, menatap sekeliling. Matanya tertuju pada pepohonan rindang yang memayungi jalan setapak.

Shinyu berhenti di tengah jembatan, pandangannya tertuju pada tebing yang tak jauh dari sana. "Tenang, tapi penuh cerita," jawabnya, suaranya terdengar datar, namun ada nada nostalgia di sana.

Kyungmin menatap arah yang sama, mengikuti pandangan Shinyu. Tebing itu memang terlihat biasa saja bagi orang lain, tapi bagi mereka, itu adalah tempat yang menyimpan memori tak terlupakan. "Kamu masih ingat waktu Hanjin jatuh di sana?" tanyanya pelan.

Shinyu mengangguk, matanya sedikit menyipit seolah mencoba menghalau bayangan yang muncul di pikirannya. "Iya. Aku ingat betul bagaimana ia mengambil keputusan gila itu.."

Twenty Four Seven With Us Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang