Pagi di akhir pekan terasa begitu hening. Cahaya matahari pagi masuk perlahan melalui tirai ruang tamu, menciptakan bayangan samar di dinding rumah besar itu. Hanjin menuruni tangga dengan langkah ringan, rambutnya masih sedikit berantakan karena baru bangun tidur. Rumah itu terasa sepi, seolah semua masih terlelap, namun suara pelan dari ruang tengah menarik perhatiannya.
Di sana, Shinyu dan Dohoon terlihat duduk berhadapan di sofa. Mereka tengah berbincang dengan nada yang rendah, tampak serius namun santai. Begitu menyadari Hanjin turun, keduanya seketika berhenti berbicara. Dohoon menyandarkan punggung ke sofa sambil menatap Hanjin, sementara Shinyu hanya mengalihkan pandangannya ke meja, seolah mencoba menyembunyikan sesuatu.
“Kenapa kalian langsung diem gitu? Pasti ngomongin aku, ya?” Hanjin menggoda sambil mendekat, duduk di kursi kosong di sebelah mereka. Ia menyandarkan tubuhnya malas, mata masih sedikit berat karena sisa kantuk.
“Bukan, han,” jawab Shinyu cepat, sedikit tersenyum. “Aku cuma bilang ke Dohoon kalau nanti siang aku mau ke rumah nenekku.”
“serius?! aku mau ikut!,” sahut Hanjin antusias. Ia duduk lebih tegak, matanya berbinar memikirkan udara segar pedesaan yang sering diceritakan Shinyu.
Namun, senyum Shinyu perlahan memudar. Ia menggeleng pelan. “Nggak bisa, Han. Kamu nggak bisa ikut kali ini.”
Hanjin mengernyitkan dahi, bingung. “Kenapa nggak bisa? Aku kan lagi kosong hari ini.”
“Karena...” Shinyu menatap Dohoon sejenak, seolah meminta dukungan. “Karena kamu udah janji mau pergi sama Dohoon hari ini, ingat?”
Hanjin menoleh ke Dohoon yang hanya mengangkat bahu santai, ekspresinya penuh kemenangan. “Aku udah bilang sama kamu dari kemarin, kan? Jangan lupa, aku nggak terima alasan.”
Hanjin mendesah, mengacak rambutnya frustrasi. “Tapi aku juga pengen ke rumah nenek Shinyu. Kapan lagi aku bisa liat tempat itu?”
Shinyu menepuk bahu Hanjin pelan, senyumnya tipis namun tegas. “Nanti aja, Han. Liburan semester masih panjang. Aku janji, kita semua bisa pergi bareng. Tapi untuk hari ini, mending kamu tepati dulu janjimu sama Dohoon.”
Dohoon tersenyum tipis, lalu bersandar ke kursi dengan gaya santai. “dengar itu Han,”
Hanjin hanya menghela napas panjang, merasa terjebak. “Iya, iya....”
Hanjin hanya menatap Shinyu yang memberikan anggukan meyakinkan, seolah mengatakan bahwa keputusan ini adalah yang terbaik. Akhirnya, ia bangkit dari kursinya dengan sedikit ogah-ogahan.
“Oke, aku ikut rencana kamu, Dohoon. Tapi kalau nanti aku nyesel nggak ikut ke rumah nenek Shinyu, kamu tanggung jawab.”
Dohoon tertawa kecil. “Santai aja. Aku selalu punya rencana yang nggak akan bikin kamu nyesel.”
Shinyu hanya menggelengkan kepala pelan, menyaksikan keduanya yang terus berdebat kecil. Di dalam hati, ia sedikit lega karena setidaknya, Hanjin tak akan merasa diabaikan hari ini meskipun tak ikut bersamanya.
beberapa saat kemudian...
Kyungmin membuka pintu kamarnya dengan lesu, matanya masih setengah terpejam karena belum sepenuhnya sadar dari tidurnya. Ia menguap kecil sambil mengacak-acak rambutnya yang berantakan, berjalan pelan menuju dapur. Tapi sebelum ia sempat mencapai tujuannya, suara Shinyu yang lantang menyapanya dari ruang tengah.
“Kyungmin! Kamu udah bangun? Cepat bersiap-siap!” seru Shinyu dengan nada antusias.
Kyungmin berhenti di tengah langkahnya, menatap Shinyu dengan mata menyipit. “Bersiap-siap buat apa? Aku kan baru bangun, biarin aku sarapan dulu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Twenty Four Seven With Us
RastgeleEnam sahabat tinggal bersama di sebuah rumah besar tanpa orang tua, menjalani kehidupan baru sebagai mahasiswa. Setiap dari mereka membawa beban, mimpi, dan konflik pribadi yang perlahan terjalin dalam kehangatan persahabatan. Dari seni, olahraga, h...