Matahari pagi menyinari apartemen sederhana yang terletak di pinggiran kota. Suara langkah kaki kecil terdengar menggema di lantai kayu yang mulai usang. Ryan, anak laki-laki berusia empat tahun, berlari dari kamarnya dengan tawa riang, menyeret selimut biru kesayangannya.
"Papa! Papa, lihat!" serunya sambil menunjuk gambar dinosaurus yang baru saja ia selesaikan di buku gambarnya.
Jeffry tersenyum sambil menuangkan susu ke gelas plastik berwarna hijau yang sudah tergores di beberapa tempat. Ia baru saja selesai menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang dengan olesan selai kacang untuk Ryan dan secangkir kopi hitam untuk dirinya sendiri.
"Wow, Ryan! Gambar dinosaurusnya hebat banget. Papa yakin ini T-Rex?" tanya Jeffry sambil berpura-pura heran.
Ryan mengangguk penuh semangat. "Iya, Papa! Dia kuat sekali dan bisa makan apa saja!"
Jeffry tertawa kecil, meski hatinya terasa sedikit berat. Momen seperti ini, sesederhana apapun, adalah alasan utama ia bangun setiap pagi. Setelah kehilangan istrinya, hidup Jeffry hanya memiliki dua fokus utama: pekerjaannya di kantor dan memastikan Ryan tumbuh bahagia.
Namun, mengurus semuanya sendirian tidaklah mudah. Ada saat-saat di mana Jeffry merasa terlalu lelah, baik secara fisik maupun emosional, tetapi senyuman Ryan selalu berhasil memberinya kekuatan.
“Ryan, habiskan rotimu ya. Papa harus cepat-cepat, hari ini ada rapat besar di kantor,” ujar Jeffry sambil menyesap kopinya.
Ryan mengangguk patuh, meski ia lebih sibuk mencorat-coret kertas di meja makan. Jeffry mengusap kepala anaknya dengan penuh kasih sebelum bergegas menuju kamar untuk bersiap.
Di kamar mandi, Jeffry menatap wajahnya di cermin. Garis-garis halus mulai tampak di sekitar matanya, mungkin akibat kurang tidur atau tekanan yang ia rasakan setiap hari. Ia menghela napas panjang, lalu merapikan dasinya sebelum melangkah keluar.
“Papa pergi kerja dulu, ya. Kamu di rumah sama Tante Rina,” ucap Jeffry kepada Ryan yang kini sibuk bermain dengan mainannya di lantai ruang tamu.
Ryan melambaikan tangan dengan senyuman lebar. "Hati-hati, Papa!"
Jeffry menutup pintu apartemen dengan perasaan bercampur aduk. Setiap kali ia meninggalkan Ryan, selalu ada sedikit rasa bersalah yang menghantui. Tapi hidup harus terus berjalan, dan ia tahu pekerjaannya adalah salah satu cara untuk memastikan masa depan anaknya.
---
Kantor tempat Jeffry bekerja adalah sebuah perusahaan distribusi alat-alat kesehatan yang cukup besar. Jeffry telah bekerja di sana selama tujuh tahun, dimulai dari posisi staf hingga kini menjadi supervisor tim. Meskipun ia dikenal sebagai karyawan yang kompeten, Jeffry jarang terlibat dalam percakapan santai dengan rekan-rekannya.Namun, ada satu orang yang selalu berhasil membuat Jeffry tersenyum di tengah kesibukan: Rose.
Rose adalah wanita yang ceria dan penuh semangat, selalu membawa energi positif ke dalam ruangan. Ia baru bergabung dengan perusahaan itu setahun lalu, tetapi sudah menjadi salah satu orang yang paling disukai di kantor.
“Pagi, Pak Jeffry!” sapa Rose sambil membawa segelas kopi di tangannya.
“Pagi, Rose,” balas Jeffry singkat, meski senyumnya sedikit lebih lebar daripada biasanya.
Rose duduk di mejanya yang berdekatan dengan Jeffry. Mereka sering bekerja sama dalam berbagai proyek, dan Jeffry diam-diam mengagumi cara Rose menghadapi tekanan dengan kepala dingin.
Hari itu, mereka memiliki rapat besar untuk membahas peluncuran produk baru. Jeffry dan Rose ditugaskan untuk mempresentasikan rencana mereka kepada manajemen. Meskipun Jeffry biasanya tenang, ada sesuatu tentang kehadiran Rose yang membuatnya merasa lebih percaya diri.
“Jadi, bagaimana menurutmu? Sudah siap?” tanya Rose ketika mereka berjalan menuju ruang rapat.
Jeffry mengangguk. “Sepertinya sudah. Aku hanya berharap tidak ada yang lupa.”
Rose tertawa kecil. “Tenang saja, Pak Jeffry. Kalau ada yang lupa, saya siap jadi penyelamat Anda.”
Jeffry tersenyum tipis. Ada sesuatu dalam nada suara Rose yang membuatnya merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja.
---
Hari itu berlalu dengan cepat. Rapat mereka berjalan lancar, dan Jeffry merasa puas dengan hasilnya. Saat hampir semua karyawan mulai meninggalkan kantor, Jeffry masih duduk di mejanya, memeriksa beberapa dokumen tambahan.
Rose mendekatinya dengan langkah ringan. “Masih kerja, Pak Jeffry? Sudah sore, lho.”
Jeffry mengangkat bahu. “Hanya memastikan semuanya siap untuk besok.”
Rose tersenyum. “Anda benar-benar pekerja keras, ya.”
“Aku tidak punya banyak pilihan,” jawab Jeffry dengan nada datar.
Rose terdiam sejenak, lalu duduk di kursi di depan Jeffry. “Kadang-kadang, kita perlu istirahat juga, Pak. Kehidupan tidak hanya tentang kerja, kan?”
Jeffry menatap Rose. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang menusuk hatinya. Rose benar, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara untuk benar-benar berhenti, meskipun hanya sebentar.
“Susah kalau kamu punya tanggung jawab besar,” balasnya pelan.
Rose mengangguk, memahami maksudnya tanpa perlu bertanya lebih lanjut. “Yah, kalau begitu, saya tidak akan mengganggu Anda lebih lama. Hati-hati di jalan, Pak Jeffry.”
Jeffry mengangguk, dan Rose pun pergi. Tapi kata-katanya terus terngiang di kepala Jeffry sepanjang perjalanan pulang.
---
Saat Jeffry membuka pintu apartemen, Ryan langsung berlari menyambutnya.
“Papa, Tante Rina bilang aku anak paling pintar hari ini!” seru Ryan sambil memeluk Jeffry erat.
Jeffry tersenyum lebar, rasa lelahnya seakan hilang seketika. “Tentu saja kamu pintar, Ryan. Papa bangga sama kamu.”
Malam itu, Jeffry menghabiskan waktu dengan Ryan, membacakan cerita tentang dinosaurus sebelum tidur. Namun, ketika Ryan akhirnya tertidur lelap, Jeffry duduk sendirian di sofa, memikirkan kata-kata Rose.
Ia menyadari bahwa hidupnya benar-benar hanya berputar pada pekerjaan dan anaknya. Apakah ia telah melupakan dirinya sendiri? Apakah ia berhak untuk mencari kebahagiaan selain dari melihat Ryan tersenyum?
Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di benaknya ketika ia akhirnya tertidur di sofa, ditemani suara angin malam yang berhembus lembut melalui celah jendela.
---
Akhir Bab 1