Hari itu dimulai seperti biasanya untuk Jeffry. Setelah memastikan Ryan siap dengan makanan dan segala kebutuhannya, Jeffry melangkah keluar apartemen. Namun, pagi ini terasa sedikit berbeda. Kata-kata Rose dari kemarin masih terngiang di benaknya: “Kehidupan tidak hanya tentang kerja, kan?”
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Jeffry merenung. Ia selalu menganggap bekerja keras adalah bentuk pengorbanan untuk Ryan. Tapi apakah itu cukup? Apakah ia juga berhak untuk menikmati kebahagiaan?
---
Jeffry tiba di kantor tepat pukul delapan pagi seperti biasa. Ruangan kantor sudah ramai dengan aktivitas karyawan. Suara ketikan keyboard bercampur dengan obrolan ringan yang memenuhi udara.
“Pagi, Pak Jeffry!” sapa Rose dengan senyuman lebarnya saat Jeffry melewati mejanya.
Jeffry mengangguk sopan. “Pagi, Rose. Sudah siap untuk evaluasi hari ini?”
“Selalu siap,” jawab Rose penuh percaya diri.
Hari itu, tim mereka dijadwalkan untuk mengevaluasi kemajuan proyek besar yang sedang berjalan. Jeffry dan Rose kembali bekerja sama untuk mempersiapkan laporan yang harus mereka presentasikan.
Mereka duduk bersebelahan di ruang kerja kecil yang dipenuhi dokumen dan laptop. Rose mengetik dengan cepat sementara Jeffry memeriksa data di layar lain.
“Pak Jeffry, saya penasaran,” Rose membuka percakapan di tengah kesibukan mereka. “Apa yang biasanya Anda lakukan kalau sedang tidak bekerja?”
Jeffry mengangkat bahu tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. “Mengurus Ryan. Itu saja.”
Rose tersenyum kecil. “Anda benar-benar ayah yang berdedikasi. Tapi, Anda tidak punya waktu untuk diri sendiri?”
Jeffry akhirnya menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Mungkin belum saatnya,” jawabnya singkat.
Rose mengangguk, meski ia tidak sepenuhnya setuju. Namun, ia memilih untuk tidak menekan lebih jauh. Baginya, Jeffry adalah teka-teki yang menarik, dan ia tahu butuh waktu untuk mengenalnya lebih dalam.
---
Saat jam makan siang tiba, Jeffry biasanya makan di mejanya, tenggelam dalam pekerjaan. Namun hari ini, Rose mendekatinya dengan sebuah ide yang tidak bisa ia tolak.
“Pak Jeffry, mau ikut saya makan di luar? Ada tempat baru di dekat sini, katanya enak,” ajak Rose dengan senyum yang tak bisa ditolak.
Jeffry ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Baiklah, tapi tidak bisa terlalu lama.”
Mereka berjalan keluar kantor bersama, menikmati udara segar yang jarang Jeffry hirup belakangan ini. Rose membawa Jeffry ke sebuah kafe kecil yang terletak di sudut jalan. Tempat itu hangat dan nyaman, dengan aroma kopi dan roti panggang yang menggoda.
“Jadi, kenapa Anda memutuskan untuk selalu sibuk?” tanya Rose tiba-tiba setelah mereka memesan makanan.
Jeffry terdiam sejenak, tidak menyangka pertanyaan itu. “Mungkin karena aku tidak tahu harus melakukan apa selain bekerja.”
Rose tersenyum simpul. “Anda tahu, Pak, kadang-kadang meluangkan waktu untuk diri sendiri bukan berarti melupakan tanggung jawab. Itu hanya berarti Anda peduli pada diri Anda sendiri.”
Jeffry merenung dalam diam. Kata-kata Rose terdengar sederhana, tetapi terasa sulit untuk ia terapkan.
---
Sepulang kerja, Jeffry menjemput Ryan dari tempat penitipan. Malam itu, Ryan tampak lebih banyak bicara daripada biasanya.
“Tadi Tante Rina cerita kalau dia punya teman yang suka masak. Papa suka masak, kan?” Ryan bertanya polos sambil mengunyah makan malamnya.
Jeffry tertawa kecil. “Iya, Papa suka masak. Kenapa tanya begitu?”
Ryan mengangkat bahu. “Nggak, cuma penasaran. Mungkin Papa bisa ajarin aku masak.”
Kata-kata Ryan mengingatkan Jeffry pada mendiang istrinya, yang selalu bercanda bahwa suatu hari mereka akan membuka restoran keluarga bersama. Kenangan itu menyakitkan sekaligus manis, mengingatkan Jeffry pada kebahagiaan yang pernah ia miliki.
Malam itu, setelah Ryan tidur, Jeffry duduk di sofa sambil memikirkan harinya. Ia menyadari bahwa percakapannya dengan Rose telah memantik sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang sudah lama ia pendam.
---
Sementara itu, di apartemennya yang lebih modern, Rose duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya. Ia sedang mengedit laporan tambahan untuk proyek mereka. Namun, pikirannya terus kembali pada Jeffry.
Rose tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang ia miliki terhadap pria itu. Jeffry adalah sosok yang tenang, tetapi ada kedalaman dalam dirinya yang membuat Rose ingin tahu lebih banyak.
Rose menghela napas dan menutup laptopnya. Ia melirik gitar akustiknya yang terletak di sudut ruangan. Dengan senyuman kecil, ia meraihnya dan mulai memetik senar, memainkan lagu yang biasa ia mainkan untuk menenangkan diri.
Di tengah permainan gitarnya, teleponnya berbunyi. Nama ibunya muncul di layar. Rose mengangkat telepon dengan senyum kecil.
“Ma, ada apa malam-malam begini?”
“Rose, kamu sudah ketemu seseorang belum?” Suara ibunya langsung menusuk ke inti.
Rose menghela napas. “Ma, aku baru bekerja di sini. Aku belum memikirkan itu.”
“Kamu sudah 27 tahun, Rose. Mama cuma ingin kamu bahagia. Pikirkan masa depanmu.”
Percakapan itu berakhir dengan rasa frustrasi yang biasa Rose rasakan setiap kali ibunya membahas pernikahan. Namun, kali ini, wajah Jeffry terlintas di benaknya, membuatnya tersenyum kecil tanpa sadar.
---
Keesokan harinya, Jeffry tiba di kantor lebih awal seperti biasa. Namun, kali ini, ia membawa sesuatu yang jarang ia lakukan: dua gelas kopi.
Saat Rose tiba di mejanya, ia terkejut melihat secangkir kopi di sana dengan catatan kecil di sebelahnya: “Terima kasih atas sarannya kemarin. - Jeffry.”
Rose tersenyum lebar. Ini adalah pertama kalinya Jeffry melakukan sesuatu yang terasa pribadi untuknya. Ia mendekati meja Jeffry dengan kopi itu di tangannya.
“Pak Jeffry, ini kejutan yang menyenangkan,” ucapnya sambil tersenyum.
Jeffry mengangguk sambil sedikit tersipu. “Kupikir, setelah kemarin, ini bentuk terima kasih yang sederhana.”
Mereka berbincang sebentar sebelum kembali bekerja. Namun, momen itu menjadi awal dari hubungan yang lebih hangat antara mereka. Rose mulai melihat sisi Jeffry yang lebih santai, sementara Jeffry mulai merasa nyaman berbagi cerita kecil tentang kehidupannya.
---
Akhir Bab 2
Aku Up 2 Bab dulu deh, kalau banyak yang suka aku up lagi nanti malem 😂