Bab 6: Percikan yang Mulai Menyala

96 12 0
                                    

Pagi itu, rutinitas di kantor berjalan seperti biasa. Jeffry, seperti biasanya, sudah sibuk di depan laptopnya, memeriksa laporan dan grafik. Namun, suasana di antara dia dan Rose terasa berbeda. Ada semacam keakraban baru yang muncul sejak perjalanan mereka ke luar kota.

Rose masuk ke ruang kerja bersama dokumen-dokumen yang perlu ditandatangani. Ia mengetuk pintu dengan lembut sebelum melangkah masuk.

“Pak Jeffry, ini laporan yang perlu Anda tinjau. Saya juga sudah menambahkan beberapa catatan di bagian akhir,” kata Rose sambil meletakkan berkas di mejanya.

Jeffry mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Terima kasih, Rose. Kalau ada waktu, mungkin kita bisa membahas ini bersama?”

Rose mengangguk. “Tentu. Anda tahu di mana menemukan saya.”

Percakapan singkat itu sederhana, tetapi cukup untuk membuat keduanya merasa lebih terhubung.

---

Rekan kerja mereka mulai memperhatikan kedekatan antara Jeffry dan Rose. Bisik-bisik mulai terdengar, meskipun tidak ada yang berani mengatakannya secara langsung kepada mereka.

“Kalian sadar nggak sih, Pak Jeffry sama Mbak Rose makin sering bareng?” bisik salah satu staf kepada rekannya.

“Iya, aku juga lihat. Tapi mungkin cuma kerja bareng, kan mereka satu tim,” jawab yang lain.

Namun, desas-desus itu tidak luput dari perhatian Rose. Ia mulai merasa canggung setiap kali menyadari orang-orang memperhatikannya.

Suatu siang, saat makan siang bersama Jeffry, ia memutuskan untuk membicarakannya.

“Pak Jeffry, Anda sadar nggak, orang-orang di kantor mulai membicarakan kita?” tanya Rose dengan nada setengah bercanda.

Jeffry mengerutkan kening. “Membicarakan kita? Maksud Anda?”

“Mereka bilang kita terlalu sering bersama akhir-akhir ini. Anda tahu, gosip biasa di kantor,” jawab Rose sambil mengaduk kopi di depannya.

Jeffry tersenyum kecil. “Biarkan saja mereka berbicara. Yang penting, kita tahu apa yang kita lakukan, kan?”

Rose mengangguk, tetapi rasa canggung itu masih ada. Ia tidak ingin gosip ini berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar.

---

Malam itu, Jeffry memutuskan untuk mengejutkan Ryan dengan membuat pancake lagi. Namun kali ini, ia memutuskan untuk meminta bantuan Rose.

“Rose, saya tahu ini sedikit mendadak, tapi apa Anda bisa membantu saya membuat pancake untuk Ryan? Dia benar-benar suka pancake buatan kita waktu itu,” kata Jeffry melalui telepon.

Rose terkejut, tetapi ia merasa senang menerima undangan itu. “Tentu, saya akan datang.”

Ketika Rose tiba di rumah Jeffry, Ryan menyambutnya dengan antusias.

“Tante Rose! Papa bilang Tante mau bikin pancake lagi!” seru Ryan dengan mata berbinar.

Rose tersenyum hangat. “Iya, tapi kamu harus bantu Tante kali ini, ya.”

Ryan mengangguk dengan semangat, dan mereka bertiga mulai memasak bersama. Tawa mereka memenuhi dapur, menciptakan suasana hangat yang sudah lama tidak dirasakan Jeffry di rumahnya.

Setelah selesai memasak, mereka duduk bersama menikmati hasil kerja mereka. Ryan terlihat sangat senang, dan Jeffry merasa hatinya semakin terbuka terhadap kemungkinan baru.

“Rose, terima kasih sudah datang. Ini berarti banyak untuk saya... dan Ryan,” kata Jeffry dengan tulus.

Rose hanya tersenyum, tetapi hatinya terasa hangat mendengar ucapan itu.

---

Setelah pulang ke apartemennya, Rose duduk di sofa dengan perasaan campur aduk. Hari itu sangat menyenangkan, tetapi juga membuatnya semakin bingung. Ia tahu perasaannya terhadap Jeffry semakin dalam, tetapi ia juga sadar bahwa hubungan ini tidak akan mudah.

Rose merenungkan ucapan ibunya beberapa waktu lalu. “Jangan tutup hatimu, Rose. Cinta selalu datang dengan tantangan.”

Namun, tantangan yang dihadapinya kali ini terasa sangat besar. Jeffry adalah duda dengan seorang anak, dan Rose tidak yakin apakah ia siap untuk mengambil tanggung jawab sebesar itu.

---

Di rumah, Jeffry menidurkan Ryan sebelum duduk sendirian di ruang tamu. Ia memikirkan hari-hari yang telah dilaluinya bersama Rose. Wanita itu telah membawa warna baru ke dalam hidupnya, tetapi ia juga merasa bersalah.

Bayangan almarhum istrinya masih menghantui pikirannya. Ia takut bahwa dengan membuka hatinya untuk Rose, ia akan mengkhianati kenangan istrinya.

Namun, melihat kebahagiaan Ryan saat bersama Rose membuat Jeffry mulai mempertanyakan apakah ia terlalu keras pada dirinya sendiri. Mungkin sudah waktunya untuk melangkah maju dan memberi dirinya kesempatan untuk bahagia lagi.

---

Beberapa hari kemudian, kantor mereka mengadakan acara makan malam bersama untuk merayakan pencapaian tim. Acara itu berlangsung di sebuah restoran mewah, dengan suasana yang meriah dan penuh tawa.

Jeffry dan Rose duduk di meja yang sama bersama beberapa rekan kerja. Namun, perhatian Jeffry terus tertuju pada Rose. Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wanita itu, yang malam itu tampak begitu anggun dalam gaun sederhana berwarna biru muda.

“Jeffry, Anda kelihatan melamun,” kata salah satu rekan kerja, membuyarkan pikirannya.

“Oh, maaf. Saya hanya sedang memikirkan sesuatu,” jawab Jeffry dengan canggung.

Rose memperhatikan interaksi itu dari sudut matanya dan tersenyum kecil. Ia tahu Jeffry sedang melihatnya, tetapi ia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.

Setelah acara selesai, Jeffry menawarkan untuk mengantar Rose pulang. Rose awalnya ragu, tetapi akhirnya setuju. Dalam perjalanan pulang, suasana di antara mereka terasa lebih akrab tetapi juga penuh dengan ketegangan yang tidak terucapkan.

“Rose, saya ingin mengatakan sesuatu,” kata Jeffry tiba-tiba.

Rose menoleh, menatapnya dengan penasaran. “Apa itu?”

Jeffry mengambil napas dalam sebelum melanjutkan. “Saya tahu ini mungkin tidak tepat, tetapi saya merasa harus jujur. Saya... saya merasa ada sesuatu yang berbeda setiap kali saya bersama Anda.”

Rose terdiam, tidak tahu bagaimana harus merespons. Jeffry melanjutkan.

“Saya tahu ini tidak akan mudah, terutama dengan situasi saya. Tapi saya ingin tahu, apakah Anda merasakan hal yang sama?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, menciptakan ketegangan yang hampir terasa nyata. Rose menatap Jeffry, mencoba mencari kata-kata yang tepat.

“Jeffry, saya...” kata-katanya terhenti. Ia merasa bingung, tetapi juga lega.

---

Akhir Bab 6

Duda JeffryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang