Suasana di dalam mobil terasa sunyi setelah pengakuan Jeffry. Rose masih terdiam, mencoba mencerna kata-kata pria itu. Jeffry, di sisi lain, merasa dadanya sedikit lega tetapi juga cemas. Ia tidak tahu bagaimana Rose akan merespons, dan ketegangan itu hampir membuatnya ingin memutar balik ucapan yang baru saja ia lontarkan.
Mobil berhenti di depan apartemen Rose. Jeffry menatapnya dengan penuh harap, tetapi Rose hanya tersenyum tipis.
“Jeffry,” katanya pelan. “Saya butuh waktu untuk memikirkan ini.”
Jeffry mengangguk, berusaha menyembunyikan kekecewaannya. “Tentu, saya mengerti. Ambil waktu sebanyak yang Anda butuhkan.”
Rose membuka pintu mobil, tetapi sebelum melangkah keluar, ia menoleh ke Jeffry. “Terima kasih sudah jujur dengan saya.”
Jeffry hanya tersenyum, meskipun hatinya terasa sedikit hampa.
---
Malam itu, Rose tidak bisa tidur. Pengakuan Jeffry terus terngiang di kepalanya. Ia merasa tersanjung, tetapi juga takut. Hubungan dengan Jeffry tidak hanya melibatkan dirinya, tetapi juga Ryan.
Rose mengambil ponselnya dan menelepon ibunya.
“Ibu, saya butuh saran,” katanya ketika ibunya menjawab telepon.
Ibunya mendengarkan dengan sabar saat Rose menceritakan segalanya. Setelah beberapa saat, ibunya berkata, “Rose, tidak ada yang salah dengan mengikuti hatimu. Tapi kau juga harus jujur pada dirimu sendiri. Apakah kau benar-benar siap untuk hubungan ini? Jika iya, jangan takut untuk mencoba.”
Rose terdiam. Ia tahu ibunya benar, tetapi keputusan ini tidak semudah itu.
---
Di kantor, Jeffry berusaha menjaga profesionalisme meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh Rose. Ia merasa canggung setiap kali bertemu dengannya, tetapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan perasaannya.
Rose, di sisi lain, juga merasa serba salah. Ia ingin berbicara dengan Jeffry, tetapi ia belum tahu apa yang ingin ia katakan.
Suatu hari, mereka ditugaskan untuk mengerjakan laporan bersama. Ketegangan di antara mereka terasa jelas, tetapi keduanya mencoba bersikap seperti biasa.
“Rose, bisa tolong periksa data ini? Saya rasa ada yang perlu disesuaikan,” kata Jeffry sambil menyerahkan dokumen.
Rose mengangguk. “Tentu, Pak Jeffry.”
Interaksi mereka singkat dan formal, tetapi hati masing-masing berbicara lebih banyak daripada kata-kata mereka.
---
Pada akhir pekan, Rose memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota untuk menyegarkan pikirannya. Ia tidak menyangka akan bertemu Jeffry di sana, yang sedang bermain bola dengan Ryan.
“Tante Rose!” Ryan berlari kecil ke arahnya begitu melihatnya.
Rose tersenyum dan membungkuk untuk menyambut anak itu. “Halo, Ryan. Sedang apa di sini?”
“Kami lagi main bola, Tante. Mau ikut?”
Rose melirik Jeffry, yang tersenyum malu-malu. “Kalau tidak sibuk, Anda bisa bergabung,” katanya.
Rose ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Baiklah.”
Mereka bertiga bermain bersama selama hampir satu jam. Tawa Ryan mengisi udara, menciptakan suasana hangat yang sulit dijelaskan. Rose merasa nyaman, seolah-olah ia adalah bagian dari keluarga kecil itu.
Setelah selesai bermain, mereka duduk di bangku taman sambil menikmati es krim.
“Rose,” kata Jeffry tiba-tiba. “Saya tidak ingin membuat Anda merasa tertekan dengan apa yang saya katakan tempo hari. Tapi saya ingin Anda tahu bahwa saya tidak akan memaksa Anda untuk memberi jawaban segera.”
Rose menatap Jeffry dan mengangguk. “Terima kasih, Jeffry. Itu berarti banyak untuk saya.”
---
Setelah pertemuan di taman, Rose merasa perlu mendiskusikan perasaannya dengan seseorang. Ia menelepon sahabatnya, Lina, dan mengundangnya untuk bertemu di sebuah kafe.
“Jadi, apa yang membuatmu kelihatan begitu bingung?” tanya Lina sambil menyeruput kopinya.
Rose menceritakan semuanya, mulai dari pengakuan Jeffry hingga perasaannya terhadap pria itu. Lina mendengarkan dengan penuh perhatian sebelum akhirnya berkata, “Rose, dari cara kau bercerita, aku bisa melihat bahwa kau menyukainya. Tapi aku juga mengerti kenapa kau ragu. Hubungan ini memang tidak sederhana.”
Rose menghela napas. “Itu dia, Lina. Aku takut kalau aku salah langkah, ini akan menyakiti kami semua, termasuk Ryan.”
Lina menatap Rose dengan serius. “Kalau begitu, kau harus bertanya pada dirimu sendiri. Apakah kau siap untuk mengambil risiko itu? Karena jika tidak, lebih baik kau berhenti sekarang sebelum semuanya menjadi lebih rumit.”
Kata-kata Lina menggema di pikiran Rose sepanjang perjalanan pulang.
---
Beberapa hari kemudian, Jeffry memutuskan untuk mengambil langkah kecil untuk mendekatkan dirinya dengan Rose. Ia meninggalkan sebuah kotak kecil di meja Rose sebelum ia datang ke kantor pagi itu.
Ketika Rose tiba, ia menemukan kotak itu dengan sebuah catatan kecil di atasnya.
“Rose, terima kasih sudah menjadi bagian penting dalam hidup saya dan Ryan. Ini hanya sesuatu yang sederhana, tapi saya harap Anda menyukainya. – Jeffry”
Rose membuka kotak itu dan menemukan sebuah pena dengan ukiran namanya. Meskipun sederhana, hadiah itu membuatnya merasa istimewa.
Sepanjang hari, Rose tidak bisa berhenti tersenyum setiap kali melihat pena itu. Ia tahu Jeffry berusaha menunjukkan perasaannya tanpa memberi tekanan, dan itu membuatnya semakin bingung tetapi juga tersentuh.
---
Pada malam harinya, Rose mengambil keputusan. Ia menelepon Jeffry dan mengajaknya untuk bertemu di sebuah kafe.
Ketika mereka bertemu, Jeffry terlihat sedikit gugup. “Rose, ada apa? Apakah ini tentang apa yang saya katakan tempo hari?”
Rose mengangguk. “Iya, Jeffry. Saya sudah memikirkannya.”
Jeffry menahan napas, menunggu kata-kata berikutnya.
“Jeffry, saya menyukai Anda. Saya tidak akan menyangkal itu. Tapi saya juga takut. Saya takut akan tanggung jawab yang datang dengan hubungan ini. Dan saya takut kalau saya tidak bisa memenuhi harapan Anda dan Ryan.”
Jeffry menggenggam tangan Rose dengan lembut. “Rose, saya tidak mencari kesempurnaan. Saya hanya ingin kita mencoba. Saya tahu ini tidak mudah, tetapi saya percaya kita bisa melewatinya bersama.”
Rose terdiam, tetapi ia merasa ada ketulusan dalam kata-kata Jeffry yang sulit diabaikan.
“Ayo kita coba, Jeffry. Tapi saya butuh waktu untuk menyesuaikan diri,” katanya akhirnya.
Jeffry tersenyum lega. “Tentu, Rose. Kita akan menjalani ini pelan-pelan.”
---
Akhir Bab 7