Bab 3: Langkah Kecil Menuju Kebersamaan

114 21 0
                                    

Dinginnya udara pagi tidak menghalangi Jeffry untuk bangun lebih awal. Sebelum matahari sepenuhnya terbit, ia sudah berdiri di dapur, menyiapkan sarapan sederhana untuk Ryan. Suara langkah kaki kecil di lantai membawa senyum ke wajahnya.

“Papa masak apa hari ini?” tanya Ryan dengan suara khas anak kecil yang baru bangun tidur.

“Omelet favorit kamu. Nanti kita tambahin keju biar lebih enak, ya,” jawab Jeffry sambil menyelesaikan potongan terakhir dari sayuran kecil.

Ryan duduk di kursinya dengan selimut biru favoritnya masih melilit tubuhnya. “Papa, aku mau main sama teman. Kapan Papa bisa temenin aku ke taman lagi?”

Pertanyaan itu membuat Jeffry terdiam sejenak. Jadwal kerjanya yang padat sering kali membuatnya sulit meluangkan waktu untuk Ryan. “Bagaimana kalau hari Minggu ini? Papa janji, kita akan pergi ke taman.”

Ryan mengangguk dengan senyum lebar. “Janji ya, Pa!”

---

Di kantor, suasana terasa lebih ringan daripada biasanya. Jeffry merasa hari itu dimulai dengan lebih positif. Ketika ia memasuki ruang kerjanya, Rose sudah berada di mejanya, sibuk memeriksa laporan.

“Pagi, Pak Jeffry,” sapa Rose tanpa mengangkat pandangannya dari layar komputer.

“Pagi, Rose. Hari ini ada yang spesial?” tanya Jeffry sambil menyalakan komputernya.

Rose menoleh dengan senyum kecil. “Tidak ada yang spesial, tapi semangat kerja selalu spesial, kan?”

Jeffry hanya mengangguk, mencoba menahan senyum. Rose memiliki kemampuan untuk membuat suasana menjadi lebih hidup tanpa usaha yang terlihat.

Hari itu mereka kembali bekerja bersama untuk menyelesaikan presentasi klien. Meskipun tugas mereka menantang, Jeffry mulai menikmati dinamika kerja dengan Rose. Perbedaan gaya mereka justru menciptakan harmoni.

“Pak Jeffry, saya penasaran, apa Ryan suka cerita-cerita sebelum tidur?” tanya Rose di sela-sela pekerjaan.

Jeffry menoleh, sedikit terkejut. “Iya, kenapa tanya begitu?”

Rose tersenyum. “Kalau begitu, mungkin saya bisa rekomendasikan beberapa buku anak-anak yang bagus. Keponakan saya suka beberapa buku yang mungkin cocok untuk Ryan.”

“Terima kasih, itu ide yang bagus,” jawab Jeffry dengan nada yang lebih hangat dari biasanya.

---

Sore harinya, ketika Jeffry sedang memeriksa dokumen, Rose mendekatinya dengan ekspresi ragu-ragu.

“Pak Jeffry, saya tahu ini mungkin terdengar mendadak, tapi... besok saya mengadakan makan malam kecil di rumah. Beberapa teman dekat saya akan datang. Kalau Anda tidak sibuk, mungkin Anda bisa ikut?”

Jeffry terkejut dengan undangan itu. Ia jarang—atau hampir tidak pernah—menghadiri acara sosial sejak kehilangan istrinya.

“Rose, terima kasih atas undangannya, tapi saya rasa saya harus...”

“Saya mengerti kalau Anda sibuk,” potong Rose dengan senyuman. “Tapi kalau Anda berubah pikiran, ini alamat saya.” Ia meletakkan sebuah kartu kecil di meja Jeffry sebelum kembali ke mejanya.

Jeffry memandangi kartu itu, merasa bimbang. Bagian dari dirinya ingin menolak, tetapi bagian lain merasa bahwa ini mungkin kesempatan untuk keluar dari rutinitasnya yang monoton.

---

Esok malamnya, Jeffry akhirnya memutuskan untuk datang. Ia tidak ingin terlihat terlalu kaku, dan pikirannya mengatakan bahwa tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru.

Rumah Rose terletak di sebuah kompleks apartemen modern. Ketika Jeffry tiba, ia sedikit gugup. Namun, ketika pintu terbuka dan Rose menyambutnya dengan senyuman hangat, kegugupannya sedikit mereda.

“Pak Jeffry! Saya tidak menyangka Anda benar-benar datang. Ayo masuk,” ucap Rose dengan antusias.

Di dalam, suasana terasa hangat dan santai. Beberapa teman Rose sudah berada di sana, berbincang sambil menikmati makanan ringan. Rose memperkenalkan Jeffry kepada mereka, dan meskipun awalnya ia merasa canggung, perlahan-lahan ia mulai merasa lebih nyaman.

Rose memperhatikan Jeffry dengan penuh perhatian. Ia senang melihat sisi lain dari pria itu—lebih santai dan terbuka.

“Jadi, Pak Jeffry, apa yang akhirnya membuat Anda datang?” tanya Rose ketika mereka berdiri di dapur bersama, mengisi gelas tamu dengan minuman.

Jeffry tersenyum kecil. “Mungkin karena penasaran. Lagipula, saya pikir ini waktu yang tepat untuk mencoba sesuatu yang baru.”

Rose tertawa pelan. “Saya senang Anda berpikir begitu.”

---

Ketika tamu lain mulai pulang satu per satu, Jeffry dan Rose tetap berada di ruang tamu, berbicara dengan lebih santai.

“Rose, kenapa Anda memilih bekerja di sini? Dengan bakat Anda, saya yakin Anda bisa mendapatkan pekerjaan di tempat yang lebih besar,” tanya Jeffry.

Rose menghela napas ringan. “Kadang saya merasa kota besar itu terlalu ramai untuk saya. Di sini, saya merasa bisa lebih tenang. Lagipula, pekerjaan ini memberi saya kesempatan untuk belajar banyak hal.”

Jeffry mengangguk. “Itu alasan yang bagus. Saya kagum dengan semangat Anda.”

Rose menatap Jeffry dengan senyum lembut. “Dan saya kagum dengan dedikasi Anda pada Ryan. Tidak banyak orang yang bisa mengorbankan begitu banyak demi keluarga.”

Percakapan itu berlanjut, dan mereka mulai berbagi cerita pribadi yang jarang mereka ceritakan kepada orang lain. Malam itu, mereka merasa hubungan mereka semakin dalam, meskipun tidak satu pun dari mereka yang mengatakan hal itu secara langsung.

---

Ketika Jeffry pulang malam itu, ia merasa berbeda. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya—sebuah rasa ringan yang sudah lama tidak ia rasakan. Ia tersenyum kecil ketika mengingat senyum Rose, tawa lembutnya, dan cara ia membuat Jeffry merasa hidup kembali.

Sementara itu, di apartemennya, Rose duduk di sofa dengan secangkir teh di tangannya. Ia tidak bisa menghapus bayangan Jeffry dari pikirannya. Malam itu membuatnya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang istimewa dalam diri pria itu.

Namun, di balik kebahagiaan kecil itu, ada keraguan yang menghantui mereka berdua. Jeffry masih takut membuka hati karena trauma masa lalunya, sementara Rose khawatir perasaan yang ia miliki mungkin tidak akan berbalas.

Namun, keduanya tahu bahwa malam itu adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

---

Akhir Bab 3

Duda JeffryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang