Hari kedua di luar kota dimulai dengan udara pagi yang segar. Jeffry bangun lebih awal, menatap keluar jendela kamar hotelnya. Kota ini, meskipun kecil, memiliki pesona tersendiri. Namun, pikirannya kembali melayang kepada Rose. Malam sebelumnya bersama Rose membekas lebih dalam dari yang ia duga.
Jeffry menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikirannya. “Fokus, Jeffry. Kau di sini untuk bekerja,” gumamnya pada diri sendiri.
Di sisi lain, Rose juga bangun dengan perasaan yang sama. Senyum kecil tersungging di wajahnya ketika ia mengingat percakapan mereka tadi malam. Ada sesuatu yang berbeda pada Jeffry, dan Rose merasa ia ingin mengenalnya lebih jauh.
---
Hari itu, Jeffry dan Rose menghadiri pertemuan penting dengan klien besar. Presentasi mereka berjalan lancar. Kombinasi profesionalisme dan kerja sama yang baik antara mereka menciptakan kesan mendalam bagi klien.
“Terima kasih atas waktu Anda. Kami senang bisa bekerja sama dengan tim yang begitu kompeten,” kata salah satu perwakilan klien dengan senyuman puas.
Setelah pertemuan selesai, Jeffry dan Rose memutuskan untuk makan siang bersama di sebuah restoran lokal. Suasananya hangat, dengan dekorasi tradisional yang membuat mereka merasa lebih santai.
“Rose, saya ingin berterima kasih atas kerja sama Anda. Anda benar-benar membuat semuanya terasa lebih mudah,” kata Jeffry sambil menyeruput kopinya.
Rose tersenyum. “Sama-sama, Pak Jeffry. Saya rasa kita tim yang hebat.”
Jeffry menatapnya sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia akhirnya hanya mengangguk.
---
Setelah makan siang, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar sebelum kembali ke hotel. Kota kecil itu menawarkan pemandangan yang indah, dengan jalan-jalan berbatu dan toko-toko kecil yang penuh warna.
Ketika mereka sedang berjalan, seorang anak kecil tiba-tiba berlari ke arah mereka sambil menangis. Anak itu tersandung dan jatuh, membuat Rose segera berjongkok untuk menolongnya.
“Hey, kamu tidak apa-apa?” tanya Rose dengan lembut.
Anak itu mengangguk pelan, tetapi air matanya masih mengalir. Rose membantunya berdiri, sementara Jeffry mencari tahu di mana orang tua anak itu. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya datang dengan tergesa-gesa.
“Maaf sekali, anak saya lari tanpa saya sadari. Terima kasih sudah menolongnya,” kata wanita itu sambil memeluk anaknya.
Jeffry dan Rose hanya tersenyum, tetapi kejadian itu meninggalkan kesan mendalam, terutama pada Jeffry. Cara Rose menangani situasi itu menunjukkan sisi keibuan yang lembut, sesuatu yang ia tidak sadari sebelumnya.
---
Malam harinya, setelah kembali ke hotel, Rose mengajak Jeffry untuk berjalan-jalan di taman kecil dekat hotel. Jeffry, yang awalnya ragu, akhirnya setuju.
Taman itu sepi, hanya diterangi oleh lampu-lampu kecil yang memberikan suasana romantis. Mereka duduk di bangku kayu, menikmati angin malam yang sejuk.
“Jeffry, saya punya pertanyaan,” kata Rose, memecah kesunyian.
Jeffry menoleh. “Apa itu?”
“Kalau Anda diberi kesempatan untuk memulai dari awal, apa yang akan Anda lakukan berbeda?”
Pertanyaan itu membuat Jeffry terdiam. Ia menatap ke arah pohon-pohon yang melambai perlahan, seolah mencari jawaban di antara mereka.
“Mungkin saya akan lebih berani membuka hati,” jawabnya akhirnya.
Rose menatapnya dengan penasaran. “Maksud Anda?”
Jeffry tersenyum tipis. “Saya terlalu lama terjebak dalam rasa kehilangan. Mungkin saya lupa bahwa hidup ini terus berjalan, dan ada hal-hal baru yang layak diperjuangkan.”
Rose merasakan hatinya berdebar mendengar jawaban itu. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia takut kata-katanya akan membuat suasana menjadi canggung.
---
Keesokan paginya, Jeffry dan Rose kembali ke kota mereka dengan kereta. Perjalanan pulang terasa lebih sunyi, tetapi tidak ada kecanggungan di antara mereka. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, merenungkan apa yang telah terjadi selama dua hari terakhir.
Ketika mereka tiba di kantor, rekan-rekan mereka segera menyambut mereka dengan pertanyaan-pertanyaan ringan.
“Wah, bagaimana perjalanan kalian? Lancar, kan?” tanya seorang rekan.
“Lancar. Klien sangat puas dengan hasil kerja kita,” jawab Rose dengan senyuman.
Jeffry mengangguk, tetapi ia tidak mengatakan banyak. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, tetapi ia belum siap untuk membicarakannya.
---
Malam itu, setelah menjemput Ryan dari tempat penitipan anak, Jeffry memutuskan untuk menghabiskan waktu lebih banyak dengan putranya. Mereka bermain di ruang tamu, tertawa bersama, dan bahkan memasak pancake seperti saran Rose.
“Papa, ini enak banget!” seru Ryan sambil memakan pancake-nya.
Jeffry tersenyum. “Itu ide dari Tante Rose. Dia bilang kamu pasti suka.”
Ryan mengangguk dengan antusias. “Tante Rose baik, ya. Kapan dia main ke rumah?”
Pertanyaan itu membuat Jeffry terdiam. Ia tidak pernah memikirkan kemungkinan membawa Rose ke rumahnya. Tapi, melihat bagaimana Ryan begitu antusias, Jeffry mulai bertanya-tanya apakah itu adalah langkah yang tepat.
---
Di apartemennya, Rose duduk di sofa dengan secangkir teh di tangannya. Ia memikirkan Jeffry dan percakapan mereka di taman. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuatnya merasa nyaman, tetapi juga membuatnya takut.
Rose tahu bahwa membuka hati kepada Jeffry berarti menerima seluruh paket kehidupannya, termasuk Ryan. Ia bertanya-tanya apakah ia siap untuk tanggung jawab sebesar itu.
Namun, bayangan senyum Jeffry dan cara ia berbicara tentang putranya membuat Rose merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, Jeffry adalah orang yang tepat.
---
Beberapa hari setelah mereka kembali, Jeffry memberanikan diri untuk mendekati Rose. Ia ingin berbicara lebih jujur, meskipun ia belum sepenuhnya yakin bagaimana perasaan Rose.
“Rose, Anda ada waktu untuk makan siang bersama hari ini?” tanya Jeffry dengan nada yang sedikit gugup.
Rose menatapnya dengan sedikit terkejut, tetapi ia segera tersenyum. “Tentu, saya akan senang sekali.”
Makan siang itu menjadi titik awal baru dalam hubungan mereka. Meskipun mereka masih berbicara tentang pekerjaan, percakapan mereka perlahan-lahan beralih ke topik yang lebih personal. Jeffry mulai merasa bahwa mungkin inilah saatnya untuk membuka hatinya, sementara Rose mulai yakin bahwa perasaannya terhadap Jeffry bukanlah sesuatu yang harus ia takuti.
---
Akhir Bab 5