Pagi itu, Jeffry merasa aneh. Pikiran tentang Rose terus mengganggu konsentrasinya. Ia memikirkan senyuman Rose saat makan malam kemarin, caranya mendengarkan dengan penuh perhatian, dan bagaimana percakapan mereka membuatnya merasa nyaman, bahkan setelah sekian lama.
“Papa, kok diem aja?” suara kecil Ryan memecah lamunannya.
Jeffry menoleh dan tersenyum. “Papa cuma mikir, Nak. Ayo, kita harus cepat kalau mau nggak telat.”
Ryan mengangguk, meskipun terlihat sedikit bingung. Anak kecil itu tidak tahu bahwa pikiran ayahnya sedang berkecamuk dengan berbagai perasaan baru.
---
Di kantor, Jeffry mencoba mengalihkan pikirannya dengan tenggelam dalam pekerjaan. Namun, kehadiran Rose membuatnya sulit fokus. Setiap kali mereka berbincang, Jeffry merasa dirinya semakin terhubung dengan wanita itu.
“Pak Jeffry,” panggil Rose dengan nada ceria. “Kita punya rapat dengan tim pemasaran nanti jam sepuluh. Anda sudah siapkan materinya?”
Jeffry mengangguk. “Sudah, tapi saya butuh masukan dari Anda soal grafik ini.”
Mereka duduk berdampingan, membahas presentasi dengan serius. Namun, di sela-sela itu, percakapan ringan mereka terus muncul.
“Jadi, Ryan suka omelet ya? Besok coba buatkan dia pancake. Anak-anak biasanya suka,” kata Rose sambil tersenyum.
Jeffry terkekeh kecil. “Saya akan coba. Kalau dia suka, saya akan beri tahu Anda.”
Rose mengangguk sambil tertawa. “Deal!”
Keakraban itu tidak luput dari perhatian rekan kerja mereka. Beberapa mulai memperhatikan bahwa Jeffry dan Rose sering terlihat berbicara lebih dari sekadar urusan pekerjaan. Desas-desus kecil mulai beredar, meskipun keduanya tidak menyadarinya.
---
Malam itu, saat Jeffry pulang ke rumah, ia menemukan Ryan merengek di ruang tamu.
“Ada apa, Ryan?” tanya Jeffry sambil mendekat.
Ryan mengusap matanya yang berair. “Tadi Tante Rina bilang Papa harus cari istri lagi.”
Jeffry terdiam. Ucapan itu terasa seperti pukulan yang tak terduga. “Ryan, kenapa Tante Rina bilang begitu?”
Ryan mengangkat bahu. “Katanya biar ada yang jagain kita. Aku bilang nggak mau. Aku cuma mau Papa.”
Jeffry menarik napas dalam dan memeluk Ryan. “Papa ada di sini, Nak. Kamu nggak perlu khawatir.”
Namun, di dalam hatinya, Jeffry tahu bahwa kata-kata Ryan menyentuh sesuatu yang ia hindari selama ini. Apakah ia terlalu terfokus pada masa lalu hingga melupakan masa depannya sendiri?
---
Di sisi lain, Rose sedang menikmati makan malam bersama ibunya. Meskipun percakapan mereka hangat, topik lama kembali muncul.
“Rose, Mama lihat kamu makin sering cerita tentang teman kerjamu, si Jeffry itu,” kata ibunya dengan nada penuh arti.
Rose terkekeh sambil menyesap teh hangatnya. “Iya, Ma. Dia orang yang baik. Tapi kami cuma teman kerja.”
“Kadang teman kerja bisa jadi lebih, Nak. Mama cuma bilang, jangan tutup hati kamu.”
Rose menghela napas. “Mama, aku belum yakin. Dia punya anak, dan aku nggak tahu apakah aku siap untuk hubungan seperti itu.”
Ibunya menggenggam tangan Rose dengan lembut. “Cinta selalu datang dengan tantangan, tapi kalau hatimu bilang dia orang yang tepat, jangan takut mencoba.”
Percakapan itu membuat Rose merenung sepanjang malam. Ia tahu ia mulai merasakan sesuatu untuk Jeffry, tetapi rasa takut akan komplikasi menghalanginya untuk mengambil langkah lebih jauh.
---
Keesokan harinya, manajer mereka mengumumkan bahwa Jeffry dan Rose harus pergi ke luar kota selama dua hari untuk mengunjungi klien. Proyek besar mereka memasuki tahap penting, dan kehadiran mereka dianggap krusial.
Rose menerima kabar itu dengan antusias, sementara Jeffry merasa sedikit gugup. Ia tahu perjalanan ini akan memberinya lebih banyak waktu bersama Rose, tetapi juga khawatir tentang bagaimana perasaannya akan berkembang.
Mereka berangkat dengan kereta, duduk berdampingan di kursi yang nyaman. Perjalanan dimulai dengan percakapan ringan tentang pekerjaan, tetapi seiring berjalannya waktu, topik mereka menjadi lebih pribadi.
“Jeffry, kenapa Anda tidak pernah bicara tentang istri Anda?” tanya Rose dengan hati-hati.
Jeffry terdiam sejenak sebelum menjawab. “Karena itu masih sulit untuk saya. Dia... dia adalah bagian besar dari hidup saya, dan kehilangan dia membuat saya merasa hancur.”
Rose menatapnya dengan penuh empati. “Saya tidak bisa membayangkan rasa sakit itu. Tapi Anda kuat, Jeffry. Saya yakin istri Anda bangga melihat Anda sekarang.”
Jeffry tersenyum tipis. “Terima kasih, Rose. Itu berarti banyak untuk saya.”
Percakapan itu membawa mereka lebih dekat. Rose merasa bahwa di balik ketenangan Jeffry, ada pria yang penuh kasih dan tanggung jawab. Sementara Jeffry mulai melihat Rose sebagai seseorang yang mungkin bisa membantunya melangkah maju.
---
Setelah seharian bekerja keras, mereka tiba di hotel yang telah dipesan. Jeffry dan Rose masing-masing mendapatkan kamar yang bersebelahan.
Setelah mandi dan beristirahat sejenak, Rose memutuskan untuk menghubungi Jeffry.
“Pak Jeffry, Anda sibuk? Saya pesan camilan, mungkin Anda mau bergabung?”
Jeffry awalnya ragu, tetapi akhirnya setuju. Ia datang ke kamar Rose dengan penampilan santai—sesuatu yang jarang dilihat Rose sebelumnya.
Mereka menghabiskan waktu dengan berbicara sambil menikmati makanan ringan. Suasana terasa nyaman, hampir seperti mereka adalah teman lama.
“Rose, terima kasih sudah mengundang saya,” kata Jeffry tiba-tiba.
Rose tersenyum. “Sama-sama. Kadang, kerja keras perlu diselingi dengan momen santai seperti ini.”
Jeffry mengangguk, merasa bahwa kata-kata Rose benar adanya. Malam itu, mereka berbagi tawa dan cerita, membangun hubungan yang lebih kuat dari sebelumnya.
---
Akhir Bab 4