2

7.3K 788 5
                                    

Butuh waktu bagi Liu Qiuqio untuk mencerna kenyataan ini. Rasanya seperti menelan roti keras yang menyangkut di tenggorokan. Kenapa dia merasa seperti ini? Karena rasa bersalah? Atau karena dia masih mencintai sang kaisar? Bagaimanapun juga, perasaan selama 15 tahun tidak akan hilang dalam semalam. Namun, itu tidak berarti dia akan menyia-nyiakan hidupnya lagi atau melukai orang-orang yang mencintainya. Karena cinta selama 15 tahun tidak bisa hilang begitu saja, dia akan menggunakan tahun-tahun ke depan untuk benar-benar melupakannya.

"Yang Mulia? Pangeran Mahkota masih menunggu," Li Dani mengingatkan dengan sopan.

"Baiklah, izinkan Hu'er masuk," jawab sang permaisuri dengan senyum lembut yang jarang terlihat. Li Dani sedikit terkejut, tetapi segera kembali ke sikap profesionalnya dan memberitahukan jawaban itu kepada Pangeran Mahkota.

Tak lama, Pangeran Mahkota masuk dengan ekspresi kaget.

"Putra ini memberi salam—" katanya sambil membungkuk, tapi kalimatnya terputus saat tiba-tiba dia ditarik ke dalam pelukan sang permaisuri, yang tersenyum besar dengan mata berkaca-kaca.

"Kau tak perlu membungkuk, juga tak perlu memanggilku Permaisuri Ibu. Sebutan 'Ibu' saja cukup," kata Liu Qiuqio sambil tersenyum tulus, memeluk putranya erat.

"Ibu," panggil pangeran perlahan.

"Ya, Hu'er, ibu di sini," jawab permaisuri, hatinya hangat.

"Ibu," ulang pangeran, suaranya mulai bergetar.

"Ya, Hu'er." Jawab permaisuri dengan sabar meski suaranya serak.

"Ibu!" isak sang pangeran, suaranya penuh luka batin bertahun-tahun.

"Hu'er!" Itu menjadi titik lemah bagi sang permaisuri. Mendengar suara putranya yang baru berusia lima tahun menangis, dia merasa hatinya hancur.

Setelah menangis bersama dan saling meminta maaf, ibu dan anak itu berbicara dari hati ke hati. Sang permaisuri terus meminta maaf, sementara putranya terus menyangkal bahwa permintaan maaf itu perlu. Tak lama, waktu sarapan tiba, dan dua anak lainnya datang.

"Ibu," suara kecil terdengar pelan.

"I-Ibu," suara lainnya mengikuti.

"Kemari, Tao'er dan Ruan'er," panggil Liu Qiuqio dengan suara lembut.

Keduanya tampak terkejut, tetapi tetap mendekat. Begitu mereka berada di hadapannya, mereka langsung dipeluk erat dalam pelukan hangat yang terasa asing tetapi familier.

"Perm—" suara Ruan'er terpotong.

"Tidak, panggil saja aku Ibu, ya?" kata permaisuri dengan suara menenangkan. Sang putri kecil mengangguk dan melihat ke arah adik lelakinya, Tao'er.

"I-Ibu," panggil Tao'er pelan.

"Bagus!" kata permaisuri dengan senyum puas.

Setelah momen penuh kehangatan itu, sang permaisuri memerintahkan agar sarapan dihidangkan. Anak-anak makan dengan lahap. Setelah itu, permaisuri memanggil seorang penjahit. Penjahit itu tiba sekitar 30 menit kemudian.

"Ruan'er, bagaimana kalau kau yang memilih pakaian untuk kita dan memberi tahu mereka bagaimana kita harus tampil di jamuan mendatang?" tanya sang permaisuri. Dia tahu Ruan'er punya bakat dalam bidang mode.

"Aku?" tanya Putri Ruan Li.

"Ya, tentu saja kau! Ibu tahu kau sangat tertarik dengan pakaian. Anggap ini sebagai latihan," ujar permaisuri dengan senyum penuh kasih. Dia tahu pakaian itu akan menjadi karya seni, dengan sedikit bantuan darinya dan penjahit. Kali ini, dia bertekad mendukung impian anaknya sejak usia muda.

Dosa KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang