Mereka tiba di villa tua itu saat senja,cahaya matahari yang meredup menciptakan bayangan panjang di sepanjang dinding batu yang telah lapuk dimakan waktu. Zen mengamati vila itu dengan teliti, matanya menyusuri setiap sudutnya, seolah mengendus bahaya yang mengintai. Sejak mereka meninggalkan gudang, Zen belum banyak berbicara. la lebih memilih untuk tetap diam, fokus pada perencanaan dan persiapan. Namun, malam ini, ada sesuatu yang berbeda. dalam sikapnya sesuatu yang lebih gelap, lebih dingin.
Zea bisa merasakannya. Zen, yang biasanya tenang dan penuh perhitungan, kini tampak jauh lebih tajam dan berhati-hati, la mengatur langkah mereka dengan sangat hati-hati, tidak meninggalkan satu detail pun tanpa perhatian.
"Jeni, tunjukkan jalur masuk yang kamu sebutkan," kata Zen, suaranya keras dan tanpa kompromi, seolah memberi perintah, bukan permintaan.
Jeni hanya mengangguk, menuntun mereka ke sisi vila, di mana sebuah pintu rahasia tersembunyi di balik semak-semak lebat. Nadira sudah siap dengan senjata, sementara Zea tetap berada di belakang, matanya menatap Jeni dengan kecurigaan yang tak bisa disembunyikan. Walau mereka sudah memberi kesempatan padanya, rasa percaya itu belum datang sepenuhnya.
Setelah mereka masuk ke dalam, suasana
di dalam vila semakin terasa menekan. Dinding-dindingnya yang berderit seakan membawa mereka ke dalam waktu yang sudah lama berlalu. Aroma debu dan kayu
lapuk memenuhi udara, sementara langkah kaki mereka bergema di koridor gelap yang panjang. Jeni berjalan di depan, namun Zen tidak melepaskan pandangannya darinya-matanya tajam, memperhatikan setiap gerakan.
"Banyak yang harus kita urus disini, ucap Zen pelan, lebih pada dirinya sendiri, namun cukup keras untuk didengar oleh Zea dan Nadira. "Kita tidak boleh terlambat, Arkana sudah terlalu lama berada dalam bayang-bayang, menjalankan semuanya dari tempat yang tersembunyi Tapi itu akan segera berakhir."
Zea menyadari bahwa Zen berbicara dengan nada yang lebih tegas dari
biasanya. Tidak ada lagi kearifan yang biasa la tunjukkan. Kini, Zen berbicara dengan kekuatan yang melampaui sekadar kepemimpinan, la berbicara seperti seseorang yang telah melihat cukup banyak dunia gelap dan siap untuk melawan dengan cara apapun yang diperlukan.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki
lantai atas. Jeni berhenti sejenak, menoleh ke belakang, wajahnya pucat.
"Siapa itu?" tanya Zen, suaranya lebih
berat.
Jeni tampak ragu, namun akhirnya menjawab, "Itu... itu hanya penjaga. Mereka tidak akan mengganggu kita, tapi.... kita harus cepat."
Zen melangkah maju, mengisyaratkan. Nadira untuk menunggu. "Ambil posisi. Kita tidak ingin kejutan di sini."
Zea mengamati Zen yang bergerak cepat,
taktis, dan terampil. la menyadari bahwa Zen bukan hanya seorang pemimpin yang kuat; ada sisi dirinya yang lebih kelam, lebih tajam-sebuah sisi yang mungkin. selama ini tersembunyi di balik sikap
santainya.
Zen berjalan menyusuri lorong, berhenti di depan pintu yang tampak tidak mencolok. Dengan satu gerakan, ia membuka pintu itu tanpa suara, dan mereka masuk ke dalam ruang yang tampaknya telah lama. tidak tersentuh. Dinding-dindingnya penuh dengan rak-rak buku tua, dan di tengah
ruangan terdapat sebuah meja besar dengan sejumlah dokumen yang tersebar. "Ada sesuatu di sini, Zen berkata, matanya. menyapu sekeliling dengan cermat, seolah sudah mengantisipasi apa yang akan la
temukan. "Jeni, kamu yakin ini tempat yang tepat?" Jeni mengangguk, namun wajahnya semakin cemas. "Ya, ini yang terakhir aku lihat sebelum mereka datang. Tapi aku
KAMU SEDANG MEMBACA
zea milik si berandalan[THE END]
Детектив / ТриллерHujan membawa kenangan kelam yang tak pernah hilang dari ingatan Zea Safira Winata. Di hadapan nisan ibunya, ia menyimpan pertanyaan yang tak pernah terjawab: apakah kematian ibunya benar-benar kecelakaan, atau ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan...