Takdir yang Terukir

1 1 0
                                    


Fajar mulai menyingsing ketika Zen, Zea, Mina, Raka, dan Jeno berdiri di luar gudang, memandangi horizon yang perlahan memerah. Suasana hening, hanya diiringi deru angin pagi yang menyapu wajah mereka. Hari ini, semua akan berakhir—atau dimulai kembali dengan cara yang berbeda.

Zen memecah keheningan. “Ini mungkin menjadi pertempuran terakhir kita bersama. Apa pun yang terjadi, kita harus tetap fokus dan percaya satu sama lain.”

Zea menatap timnya satu per satu. “Tidak ada yang tertinggal. Kita masuk dan keluar bersama.”

Jeno mengangkat alis sambil tersenyum kecil. “Sepertinya kau mulai terpengaruh oleh Zen. ‘Masuk dan keluar bersama’, ya?”

Raka tertawa kecil. “Lebih baik begitu daripada kau kabur sendirian seperti waktu itu.”

Mina memotong obrolan santai mereka dengan nada tegas. “Fokus, kalian. Kita punya waktu sedikit sebelum mereka mendeteksi kita.”

Zen mengambil peta digital yang sudah disiapkan Mina. “Fasilitas ini ada di dalam hutan, dikelilingi oleh pagar listrik dan penjaga bersenjata lengkap. Kita akan memasuki kompleks melalui jalur bawah tanah yang digunakan untuk pasokan logistik.”

Zea menunjuk sebuah titik pada peta. “Kalau jalur itu terdeteksi?”

Mina tersenyum tipis. “Aku sudah menyiapkan sistem pengalihan sinyal. Mereka akan melihat aktivitas di sisi lain kompleks.”

Zen menatap timnya lagi. “Siap?”

Semua mengangguk serempak.

---

Pukul 05:00

Mereka tiba di hutan lebat yang mengelilingi fasilitas utama Arkana Estate. Udara pagi yang dingin terasa menusuk, namun tidak menyurutkan langkah mereka. Mina membuka peta digital di tablet kecilnya.

“Lima ratus meter lagi ke titik masuk,” bisiknya.

Mereka bergerak cepat namun senyap, menghindari setiap kemungkinan jebakan. Saat mencapai titik masuk, sebuah pintu logam besar tersembunyi di balik semak-semak terlihat. Mina meretas sistem kunci pintu dengan alat portabelnya.

“Dua menit,” katanya sambil mengetik cepat.

Tiba-tiba suara ranting patah terdengar dari belakang mereka. Zen segera memberi isyarat agar semua bersiap. Zea mengarahkan senjatanya ke arah suara itu.

Dari balik pepohonan, muncul seorang pria bertubuh tegap—Arman, anak buah setia Adelia.

“Zen,” sapa Arman dengan nada datar. “Kau seharusnya mendengarkan ibumu.”

Zen tidak bergeming. “Aku tidak punya pilihan.”

Arman menghela napas. “Kalau begitu, aku juga tidak punya pilihan.”

Zea menembak ke arah Arman, namun pria itu dengan cekatan menghindar dan membalas tembakan. Pertarungan sengit terjadi. Zen dan Zea bekerja sama menahan Arman, sementara Mina terus meretas pintu.

“Buka pintunya sekarang, Mina!” teriak Zen.

“Lima detik lagi!”

Akhirnya, pintu terbuka dengan suara mendesis. Raka dan Jeno segera menarik Zen dan Zea masuk sebelum Arman sempat menyerang lagi.

“Ini belum selesai!” teriak Arman dari luar pintu.

Mina menutup pintu dengan cepat dan mengaktifkan kunci ulang. Mereka semua terengah-engah, tapi tidak ada waktu untuk beristirahat.

“Kita harus cepat,” desak Mina.

Zen memimpin timnya menyusuri lorong sempit yang dipenuhi pipa dan kabel listrik. Suasana semakin mencekam dengan suara gemerisik dari segala arah.

zea milik si berandalan[THE END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang