Hening menyelimuti perjalanan mereka setelah berhasil melarikan diri dari fasilitas Asterion yang kini tinggal reruntuhan. Mobil melaju tanpa suara, hanya deru mesin yang terdengar samar. Zea duduk di kursi belakang, wajahnya memar akibat benturan dengan penjaga sebelumnya, tetapi matanya tetap tajam menatap ke luar jendela. Di pangkuannya, amplop kecil berwarna cokelat terlihat, namun ia tak menyentuhnya sejak memberikannya kepada Zen.
Zen, yang duduk di kursi depan, mencuri pandang ke arah Zea melalui kaca spion. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan, tetapi ia memilih untuk tetap diam. Surat itu terasa seperti beban di sakunya, menambah berat rasa tanggung jawabnya. Dia ingat saat-saat terakhir di kampus, ketika Zea menatapnya dengan mata penuh emosi tetapi tak memberikan jawaban atas pernyataan perasaannya. Saat itu, ia mengira waktu akan menjawab semuanya. Namun, kini, surat itu mungkin membawa jawaban yang selama ini ia nantikan.
Nathan, yang mengemudi, akhirnya memecah keheningan. "Kita perlu tempat aman untuk berlindung. Fasilitas itu dihancurkan, tapi aku yakin Armand tidak akan menyerah semudah itu."
Zen mengangguk, mencoba mengalihkan pikirannya dari surat itu. "Ada tempat yang bisa kita gunakan di pinggiran kota. Aman dan jauh dari radar Arkana."
Nathan mengarahkan mobil sesuai instruksi Zen, tetapi keheningan kembali menyelimuti mereka. Zea tetap diam sepanjang perjalanan, meskipun Zen tahu ada banyak hal yang ingin dia katakan. Hanya saja, mungkin sekarang bukan waktunya.
Setelah perjalanan panjang, mereka tiba di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Tempat itu tampak usang dan tidak terawat, tetapi Zen meyakinkan mereka bahwa itu cukup aman untuk sementara waktu. Mereka segera masuk, memeriksa setiap sudut untuk memastikan tidak ada yang mengintai.
Nathan menurunkan perlengkapan mereka, sementara Zea duduk di sudut ruangan, tangannya memegang botol air. Zen, yang berdiri di dekat pintu, akhirnya angkat bicara. "Zea, aku ingin tahu... tentang surat itu. Kenapa kau memintaku membacanya setelah semuanya selesai?"
Zea mendongak, tatapannya dingin namun lelah. "Karena itu bukan untuk sekarang. Isi surat itu hanya akan mengalihkan perhatianmu dari apa yang sebenarnya penting saat ini."
Zen menghela napas, mencoba menahan rasa ingin tahunya. "Kalau begitu, setidaknya beri tahu aku apa rencanamu. Kau hampir menyerahkan diri tadi, Zea. Apa yang sebenarnya kau pikirkan?"
Zea bangkit berdiri, menatap Zen dengan tajam. "Aku pikir ini sudah jelas, Zen. Aku hanya mencoba memastikan kita bisa menyelesaikan misi ini. Kalau itu berarti aku harus menjadi umpan, aku akan melakukannya lagi."
"Tapi itu terlalu berbahaya!" Zen membalas, suaranya meninggi. "Kau tidak bisa terus bertindak seolah nyawamu tidak penting. Kau tidak sendiri dalam hal ini, Zea."
Zea menunduk sejenak, lalu menghela napas panjang. "Aku tahu, Zen. Tapi aku juga tahu bahwa aku adalah alasan mereka mengejar kita. Kalau aku harus menjadi orang yang menanggung beban ini, aku akan melakukannya."
Nathan, yang mendengar percakapan mereka, berjalan mendekat. "Kalian berdua harus berhenti bertengkar. Kita punya masalah yang lebih besar. Armand tidak akan berhenti hanya karena kita menghancurkan satu fasilitas mereka. Kita perlu rencana untuk melanjutkan ini."
Zen mengangguk, berusaha menenangkan dirinya. "Kau benar. Tapi pertama-tama, kita harus memastikan Zea aman. Dia adalah kunci dari semua ini."
Zea menghela napas, matanya menatap kosong ke arah dinding. "Aku tahu aku kunci, Zen. Tapi itu juga berarti aku adalah beban bagi kalian."
"Tidak," jawab Zen cepat. "Kau adalah alasan kita terus berjuang. Aku tidak akan membiarkan mereka mengambilmu."
Zea ingin membantah, tetapi ia tahu percuma. Zen tidak akan menyerah padanya, seperti yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Ia hanya bisa berharap surat itu, ketika Zen akhirnya membacanya, akan menjelaskan semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
zea milik si berandalan[THE END]
Mystery / ThrillerHujan membawa kenangan kelam yang tak pernah hilang dari ingatan Zea Safira Winata. Di hadapan nisan ibunya, ia menyimpan pertanyaan yang tak pernah terjawab: apakah kematian ibunya benar-benar kecelakaan, atau ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan...