Ledakan granat mengguncang ruangan, membuat dinding bergetar hebat. Zen berdiri dengan napas terengah-engah, peluh menetes di dahinya. "Nathan, sudah selesai atau belum?!"Nathan terus mengetik dengan panik, jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard. "Hampir selesai! Tahan sedikit lagi!"
Zea, yang berada di dekat pintu, menembakkan senjatanya dengan tenang namun tegas, memastikan setiap peluru yang dilepaskan tidak sia-sia. "Mereka semakin banyak, Zen! Kita harus keluar sekarang!"
Zen melirik Nathan dengan tegas. "Kita tidak akan meninggalkan data ini!"
Namun, sebelum Nathan sempat menjawab, suara gemuruh keras menggema dari koridor luar. Zen dan Zea saling bertukar pandang dengan bingung. "Apa itu?" bisik Zea, menoleh ke arah pintu.
Tiba-tiba, pintu koridor di ujung ruangan meledak, menampilkan sosok pria berjas hitam dengan aura otoritas yang tak terbantahkan. Beberapa orang bersenjata lengkap mengikuti di belakangnya, bergerak dengan formasi yang terlatih.
Zen tertegun. "Ayah?"
Daniel Wilantara Wijaya, dengan postur tegap dan tatapan dingin, melangkah masuk ke dalam ruangan. Tangannya menggenggam pistol kecil yang terlihat lebih seperti simbol kekuatan daripada alat perang. Ia menatap Zen dengan tajam, tapi ada sedikit kelegaan dalam sorot matanya. "Kau benar-benar keras kepala, Zen. Lagi-lagi kau memaksaku turun tangan."
Zen mengangkat senjatanya, menyandarkan tubuhnya ke meja. "Aku tidak memintamu datang."
Daniel menyeringai kecil. "Tentu saja tidak. Tapi kau lupa, aku selalu tahu apa yang kau lakukan."
Nathan, yang akhirnya berhasil menyelesaikan pengunduhan data, bangkit dengan tergesa-gesa. "Kita harus segera pergi! Mereka bisa saja memanggil pasukan tambahan kapan saja."
Daniel memberi isyarat kepada timnya, dan dalam sekejap, mereka mulai melindungi area. "Timku akan menahan penjaga di luar. Kalian keluar melalui jalur aman yang sudah kami siapkan."
"Jalur aman?" tanya Zea dengan nada penuh kewaspadaan.
Daniel meliriknya sekilas. "Sebuah terowongan bawah tanah. Kami menemukannya sebelum kalian masuk. Aku sudah memastikan itu aman."
Zen mendekati ayahnya. "Kau tahu semua ini, tapi kau membiarkan kami melakukannya sendiri? Apa kau sengaja menunggu sampai kami hampir mati dulu?"
Daniel menepuk bahu Zen, lalu menatapnya tajam. "Aku membiarkanmu belajar. Tapi aku juga tahu kapan harus bertindak. Kalau aku turun tangan sejak awal, kau tidak akan pernah memahami arti sebenarnya dari tanggung jawab."
Zen terdiam, giginya mengertak, tapi tidak ada waktu untuk berdebat. Zea mendekat, memotong ketegangan di antara keduanya. "Kita bisa membahas ini nanti. Sekarang, kita harus pergi."
Daniel mengangguk, memberi isyarat kepada timnya. "Ikuti aku. Aku akan memastikan kalian keluar dengan selamat."
---
Pelarian melalui Terowongan
Mereka bergerak cepat menuju pintu kecil yang tersembunyi di balik salah satu dinding. Daniel membuka pintu itu dengan kunci elektronik, menampilkan tangga yang mengarah ke terowongan gelap di bawah tanah. "Turun, cepat!"
Zea, Zen, dan Nathan turun lebih dulu, diikuti oleh Daniel dan beberapa anak buahnya. Terowongan itu panjang, lembap, dan penuh dengan cahaya redup dari lampu darurat.
Saat mereka bergerak, suara langkah berat dan teriakan musuh mulai terdengar dari belakang. Daniel memberi isyarat kepada dua anak buahnya untuk tetap berjaga di pintu masuk, sementara yang lainnya melanjutkan perjalanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
zea milik si berandalan[THE END]
Mystery / ThrillerHujan membawa kenangan kelam yang tak pernah hilang dari ingatan Zea Safira Winata. Di hadapan nisan ibunya, ia menyimpan pertanyaan yang tak pernah terjawab: apakah kematian ibunya benar-benar kecelakaan, atau ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan...