Joanna terbangun dengan kepala pusing dan tubuh yang terasa lelah. Suasana di sekitarnya asing, tapi ada sesuatu yang familiar. Ia membuka mata perlahan, merasakan cahaya yang masuk melalui jendela. Langit di luar tampak cerah, tapi jauh dari nyaman. Ia memandang sekeliling kamar, mencoba menyusun ingatan yang samar-samar.
Ini kamarnya. Kamarnya yang dulu saat ia tinggal bersama sang papa. Sebuah ruangan yang pernah menjadi tempatnya merasa aman, nyaman, dan penuh kenangan. Dindingnya berwarna abu, tak ada yang berubah sama sekali. Semuanya masih tertata rapi.
Tapi ada satu hal yang tidak bisa disangkal, Joanna merasa tidak aman. Kenangan terakhir yang ia ingat adalah malam itu, ketika ia berjalan mencari Phavita. Malam yang tenang, hingga semuanya berubah begitu cepat. Tiba-tiba ada tangan kasar yang menariknya, memaksanya masuk ke dalam mobil, dan kemudian gelap.
Ia menutup mata, mencoba mencerna semuanya. Kenapa ia bisa berada di sini? Apa yang terjadi? Setiap detik terasa berat saat memori itu mulai kembali, sejak Phavita hilang dan semuanya menjadi kacau. Apakah ini skenario dari papanya?
Joanna perlahan mengubah posisinya menjadi duduk. Ruangan ini terasa begitu sunyi, hanya suara detak jam dinding yang mengisi kesunyian. Ia menatap pintu, merasa seolah ada sesuatu yang mengintainya dari luar.
Kemudian, pintu terbuka dengan suara berderak. Ayahnya masuk, tatapannya tajam seperti pisau yang siap menghujam.
"Beraninya kamu menuntut Rion!" kata sang papa, suaranya penuh amarah.
Joanna terdiam sejenak. Dulu, ia selalu mencari pengertian dari pria yang harusnya melindunginya meskipun Joanna sering mendapat perlakuan tidak baik. Tapi sekarang, yang ia rasakan hanya kebingungan dan rasa kecewa yang mendalam. Ternyata, semua yang terjadi ini adalah bagian dari permainan papanya sendiri.
“Kenapa? Papa mau menyusul Rion juga di penjara?” Joanna menantang, matanya berkilat penuh rasa frustasi.
“Joan!” Peringatan tajam meluncur dari bibir pria itu.
“Kamu sama saja menghancurkan saya!” teriaknya, suara itu bergetar penuh kekesalan.
Joanna memandang pria itu dengan mata yang penuh keteguhan, meski hatinya terasa hancur. “Joan gak peduli,” jawabnya singkat, suaranya tegas meskipun ada rasa cemas yang menggerogoti hatinya.
Ayahnya tidak terima, dan menambah ancaman itu, “Kalau kamu tidak mau membebaskan Rion, Phavita tidak akan selamat.”
Joanna terdiam. Mungkin itu hanya ancaman belaka, tapi entah kenapa, ada rasa takut yang tiba-tiba menyerangnya. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada Phavita. Ia tidak tahu apakah ancaman itu benar-benar kosong atau ada sesuatu yang lebih mengerikan di baliknya.
“Oh ya?” meskipun begitu Joanna menatapnya dengan tatapan berani.
Ayahnya menghela napas, seolah sudah tidak ada lagi ruang untuk berbicara. “Mulai detik ini kamu yang akan menggantikan posisi Gemima ketika Rion bebas.”
Seketika itu, darah Joanna mendidih. "Ganti posisi Gemima?" pikirnya. Ia tahu benar apa yang dimaksud papanya. Segalanya menjadi jelas, ini semua hanya permainan kekuasaan.
Dengan langkah cepat, Joanna berdiri dan menatap tajam. Saat sang papa keluar, Joanna mendekati pintu dan mencoba membuka, namun pintu terkunci dari luar.
"Sial!" ujar Joanna dengan penuh kemarahan.
▪︎ ▪︎ ▪︎
Keheningan di ruangan itu sangat mencekam. Polisi yang datang untuk menyelidiki belum menemukan jawaban yang pasti. Ruangan yang menjadi tempat penyekapan Phavita kini tampak kosong. Tak ada lagi suara ketukan kaki atau napas berat yang menggetarkan udara. Hanya ada sisa-sisa yang mengingatkan pada sesuatu yang jauh lebih buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
OUT OF THE BLUE | 05 LINE
FanfictionIf something happens out of the blue, it's completely unexpected. BXG AREA FIKSI NO SALTY JUST FOR FUN HAPPY READING