19. BOUND BY JUSTICE

24 5 2
                                    

Phavita membuka matanya perlahan. Kegelapan menyelimuti sekelilingnya. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar napasnya yang terputus-putus, ia sendirian di dalamnya, entah dimana, lalu meraba-raba di sekitar, menyentuh dinding dingin dan kasar.

Jantungnya berdegup kencang, pikirannya tidak bisa berpikir jernih lagi, air matanya mulai mengalir membasahi pipinya. Tak bisa lagi menahan isak tangisnya, yang perlahan berubah menjadi tangisan keras. Semua rasa takut dan kebingungannya tumpah tanpa bisa dibendung.

Phavita merasa sangat terperangkap, seolah tak ada jalan keluar. Suara tangisannya menggema di ruang kosong itu, semakin menambah kesunyian yang menakutkan. Satu hal yang pasti, ia tidak sendiri. Jauh di sudut ruangan, terdengar sesuatu seperti langkah kecil, atau mungkin hanya imajinasinya? Kegelapan seolah hidup, menelannya perlahan dalam ketakutan yang tak terucapkan.

▪︎ ▪︎ ▪︎

Besok harinya, sekolah seperti biasa. Galen terpaksa untuk berangkat ke sekolah lebih dulu, dan pihak kepolisian dapat melanjutkan pencarian. Meskipun pikirannya tak bisa lepas dari Phavita. Perasaan bersalah terus mengganggunya, merasa seperti tak bisa bertanggung jawab atas apa yang terjadi.

Sementara itu, di kelas 11 IPS 3, Janu sudah duduk seperti biasa, namun kedatangan Juwi tiba-tiba membuat suasana jadi tegang. Juwi terlihat terburu-buru, jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"Janu!" Juwi memanggilnya. Ekspresinya penuh kekhawatiran, seolah ada yang harus segera disampaikan.

"Juwi? Ada apa?" Tanya Janu, sementara Riki yang duduk di sampingnya langsung manarik atensinya pada kehadiran Juwi yang tampak gelisah.

"Gue baru ditelpon sama nyokapnya Joan," ujar Juwi, jelas tergesa-gesa. "Katanya, temen deket Gemima hilang, berarti itu Phavita kan?"

Janu mengangguk singkat, menunggu Juwi melanjutkan. Ia rasa masih ada informasi yang ingin Juwi sampaikan selanjutnya.

"Joan kemarin ikut nyari? Kok belum pulang juga? Terus, kata nyokapnya, ponselnya gak aktif. Lo tahu dia kemana?" tanya Juwi dengan raut wajah yang semakin khawatir.

Janu langsung terhenyak. Semalem Joanna memang tidak ada, dan yang lebih parah, Janu juga lupa untuk menghubungi Joanna lagi. Pikiran Janu mulai kacau dan ia merasa semakin tidak karuan. Kenapa semua terjadi begitu saja.

▪︎ ▪︎ ▪︎

Ruangan itu begitu gelap dan suram, hanya ada secercah cahaya kecil yang masuk dari celah dinding. Udara terasa lembap, dan keheningan menusuk hingga membuat detak jantung Phavita terdengar nyaring di telinganya. Tubuhnya bergetar, bersandar lemah di tembok dingin saat pintu ruangan terbuka dengan suara berderit. Dua pria masuk, langkah mereka berat, membawa aura ancaman yang mengerikan. Salah satu dari mereka menggenggam sebilah pisau, mengarahkan ujung tajamnya tepat ke Phavita.

"Tolong..." Suaranya bergetar, hampir seperti bisikan, penuh ketakutan.

Pria yang memegang pisau itu menatapnya tajam. "Saya akan bebaskan kamu... kalau kamu cabut tuntutan terhadap Rion dan bantu keluarkan dia dari penjara."

Phavita tersentak. Air mata mengalir deras di pipinya. Ia tidak tahu harus berkata apa, pikirannya kacau. Ia hanya menangis, terlalu takut untuk menjawab.

"Jawab, bisa nggak?!" bentak pria itu, suaranya menggema di ruangan sempit.

"Jangan pura-pura bego! Cepat jawab!" teriak pria lainnya, suaranya menusuk telinga.

Phavita menggeleng pelan, air matanya tak kunjung berhenti. Dalam benaknya, ia tahu Rion pantas dihukum. Apa yang terjadi pada Gemima tidak akan pernah bisa dimaafkan. Joanna, Janu, bahkan Galen, mereka semua mendukung keputusannya untuk melawan Rion. Rion dipenjara karena usaha mereka bersama, dan itu adalah satu-satunya cara agar keadilan untuk Gemima tercapai.

Namun, ancaman di depannya nyata. Pisau itu semakin dekat ke lehernya. Ia bisa merasakan dinginnya logam di kulitnya, membuatnya terisak semakin keras.

"Tolong..." katanya lagi, kali ini penuh putus asa.

"Cabut tuntutan, atau mati sekarang juga?" desak pria yang memegang pisau, nadanya dingin dan tak kenal ampun.

Phavita berusaha mengatur napasnya di tengah tangis. Pikirannya berkecamuk. Jika ia menyerah, semuanya akan sia-sia. Joanna pasti kecewa. Janu juga. Dan Galen, yang selalu ada di sisinya selama ini untuk mendukungnya mengungkap kasus Rion. Tapi yang lebih penting, Gemima. Keputusan ini bukan hanya tentang dirinya, tapi tentang keadilan untuk Gemima, dan tentang rasa tanggung jawab kepada mereka yang sudah berjuang bersamanya.

Dengan napas berat, Phavita menatap pria itu, matanya basah tapi penuh keteguhan. "Saya tidak akan membebaskan Rion. Saya siap mati."

Kata-katanya tegas meski suaranya bergetar, membawa keberanian terakhir yang ia miliki.

▪︎ ▪︎ ▪︎

OUT OF THE BLUE | 05 LINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang