Pagi menjelang dengan cepat. Zea dan Zen meninggalkan rumah tua itu saat fajar menyingsing, membawa serta peta dan jurnal Eliza. Suasana di antara mereka masih hening, penuh dengan pikiran yang saling bertautan tetapi belum diucapkan.“Tempat pertama ada di pinggiran kota lama, di sebuah pabrik yang sudah lama ditinggalkan,” ujar Zen sambil menunjukkan titik di peta. “Di sana, ada dokumen penting yang mungkin bisa memberi kita petunjuk tentang rencana besar Arkana.”
Zea mengangguk. “Semakin cepat kita sampai, semakin baik.”
Dalam perjalanan, Zea tidak bisa berhenti memikirkan pengakuan Zen. Perasaan campur aduk masih menguasainya—antara rasa sakit karena dikhianati dan kehangatan yang muncul karena Zen akhirnya memilih berpihak padanya.
Pabrik tua itu terlihat lebih menyeramkan dari yang Zea bayangkan. Bangunan besar yang sudah rusak, dengan pintu besi berkarat yang hampir jatuh, menyambut mereka dengan keheningan yang memekakkan telinga.
“Yakin ini tempatnya?” tanya Zea, menatap Zen dengan keraguan.
Zen mengangguk. “Ya. Ini adalah salah satu markas tersembunyi Arkana. Tapi mereka sudah meninggalkannya bertahun-tahun lalu.”
Mereka melangkah masuk dengan hati-hati. Zen memimpin, sementara Zea mengikuti di belakang, merasakan ketegangan yang semakin memuncak.
Setelah beberapa saat mencari, mereka menemukan sebuah ruangan dengan pintu baja tebal yang terkunci. Zen mengeluarkan kunci kecil yang sudah disiapkan sebelumnya, membuka pintu itu dengan satu putaran.
Di dalamnya, terdapat berkas-berkas tua, foto-foto, dan sebuah peti kecil berwarna hitam. Zea berjalan mendekat dan membuka peti itu dengan hati-hati. Di dalamnya ada sebuah flash drive.
“Inilah yang kita cari,” Zen berbisik.
Namun, sebelum mereka bisa keluar, suara langkah kaki terdengar di kejauhan. Zea dan Zen saling bertukar pandang.
“Kita tidak sendiri,” kata Zen dengan nada tegang.
Tiba-tiba, dari balik bayangan, muncul sosok yang tidak asing bagi Zea—Arman, anak buah ibunya, Adelia.
“Zen, Zea. Lama tidak bertemu,” ujar Arman dengan senyum dingin.
Zea merasakan tubuhnya menegang. “Arman… Apa yang kau lakukan di sini?”
“Seharusnya aku yang bertanya. Kalian seharusnya tidak ada di sini,” jawab Arman santai. “Zen, kau seharusnya tahu bahwa tidak ada yang bisa keluar dari Arkana. Termasuk kau.”
Zen melangkah maju, melindungi Zea di belakangnya. “Aku sudah memilih jalanku, Arman. Dan aku tidak akan membiarkanmu menyentuh Zea.”
Arman tertawa kecil. “Kau pikir kau bisa melawan Arkana sendirian? Kau tahu siapa yang kita hadapi.”
Namun, sebelum Arman bisa mendekat, suara langkah lain terdengar. Raka dan Jeno muncul dari arah pintu belakang, membawa beberapa peralatan.
“Kami tidak sendirian,” ujar Raka dengan senyum lebar.
“Sudah lama aku ingin beraksi,” tambah Jeno, melirik Zen dengan tatapan penuh semangat.
Pertarungan pun pecah. Zen, Raka, dan Jeno bekerja sama untuk menghadapi Arman dan anak buahnya. Zea, sementara itu, mencoba melindungi flash drive yang mereka temukan.
Setelah pertempuran sengit, Arman akhirnya mundur dengan luka-luka. Namun sebelum pergi, dia memberikan peringatan.
“Kalian hanya menunda yang tak terhindarkan. Arkana akan datang untuk kalian.”
KAMU SEDANG MEMBACA
zea milik si berandalan[THE END]
Mystery / ThrillerHujan membawa kenangan kelam yang tak pernah hilang dari ingatan Zea Safira Winata. Di hadapan nisan ibunya, ia menyimpan pertanyaan yang tak pernah terjawab: apakah kematian ibunya benar-benar kecelakaan, atau ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan...