08 : Luka

48 5 0
                                    

Angkasa membalut tubuhnya dengan selembar jaket yang semula tergantung di belakang pintu. Menarik zipper hingga tertutup dengan sempurna, lalu meraih tas sekolah untuk dibawa keluar bersama.

Ia berhenti di ujung anak tangga rumahnya; mengamati kekosongan yang membawa hampa, lalu menjatuhkan netra pada piano putih di ujung ruang keluarga.

Sebuah kilas balik tiba-tiba menghampiri pikirannya. Membawa bayang wanita cantik yang selalu muncul tanpa bisa dihentikan. Menuai rindu di hati seorang putra pada sang mama tercinta.

Sudah hampir sembilan tahun Asa hidup tanpa sosok wanita terhebatnya. Bahkan sejak dua tahun lalu pun, papanya telah membawa wanita lain untuk mengisi peran ratu di dalam istana. Namun bagi Angkasa- menerima perubahan bukan perkara mudah. Terlebih lagi dirinya masih belum pulih dari jerat kehilangan dan segenap rasa bersalah.

"Asa gak sarapan dulu?"

Pertanyaan yang hampir selalu ia dengar di setiap pagi membuat Angkasa beralih dan menghentikan nostalgia-nya. Memilih untuk berjalan menuju meja makan, lalu mencomot selembar roti meski banyak menu lain yang tersaji.

"Ada rapat osis sebelum masuk, jadi asa harus datang lebih pagi"

"Kalo gitu susu nya diminum dulu" titah sang mama yang langsung dituruti Asa tanpa bantahan.

"Ada titipan dari Caya tuh. Katanya surat izin Winta" cetuk Raya yang sudah lebih dulu berada di meja makan.

Angkasa hanya mengangguk sebagai jawaban. Bukan karena marah akan dirinya yang sempat dibuat cemas, namun hanya malas untuk sekedar mengeluarkan kata.

Raya memperhatikan gerak gerik adik semata-wayangnya. Membuntuti arah pergi Angkasa; tampak berpikir untuk berucap namun akhirnya kehilangan waktu untuk berbicara.

"Udah gak usah diliatin terus. Asa pasti baik-baik aja" ujar mamanya menenangkan.

"Raya cuma khawatir ma. Abis dia kemaren kayak orang kesetanan, mana kata Winta sempet teriak-teriak di sekolah"

"Dia cuma butuh waktu buat sembuh"

"Tapi ma.."

"Asa gak papa ray. Percaya sama mama"

Raya akhirnya bungkam. Mencoba percaya pada sosok 'ibu sambung'nya yang juga berprofesi sebagai psikolog. Meski tetap menyimpan cemas pada kondisi Asa yang selalu bersembunyi di balik sikap dinginnya.

Untuk kesekian kalinya, Angkasa kembali termenung di sudut lain rumahnya. Menatap kosong pada pagar hitam yang masih tertutup rapat, dengan kepala yang menyimpan banyak tanya dan sederet andai yang tak mungkin direalisasikan.

Ia memutar rekam jejak pada malam terakhir dirinya bersama sang ibunda. Membawa kenangan pahit perihal kecerobohan yang membuatnya dikurung rasa bersalah. Menyesali keputusan yang menghantar-nya pada luka yang tak kunjung sembuh setelah bertahun-tahun lamanya.

Dan dalam ingatan itu pula, Angkasa bisa menemukan sosok oma-nya yang berteriak keras karena kehilangan anak tercinta. Melontarkan segenap amarah bercampur kesedihan, memaki Angkasa yang dituduh sebagai penyebab dari malapetaka.

"maafin Asa ma" bisiknya berteman sepi.

Detik itu Angkasa menghirup nafas dalam-dalam. Mencoba menahan segala perih yang telah mendarah daging, dan memaksa hati untuk tetap tegar meski dilanda badai berkepanjangan.

....

Masih dengan wajah dan rambut yang sedikit berantakan, tuan putri yang baru bangkit dari tidurnya mulai menuruni anak tangga dan berjalan menuju dapur untuk menuntaskan dahaga.

Kita dan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang