Dalam langkah malas ditengah keramaian, Winta sibuk menghela dengan segala macam keluhan kesa. Merutuki kisah cintanya yang tak kunjung mendapat titik terang, hingga sosok mas Elang yang lebih memilih tidur siang ketimbang menjemput adik tersayang.
Winta menendang beberapa kerikil di jalanan. Mengibaratkannya sebagai beban kehidupan yang sangat ingin ia hempaskan. Andai, melupakan Asa semudah menjauhkan diri dari kerikil tajam yang bertaburan.
"Argh! Ngeselin" serunya kesal, karena tak kunjung dapat melupakan kejadian di koridor selepas upacara. Tentang percakapan pengguncang jiwa yang berhasil menyulut kecanggungan diantara dua tokoh utama.
Kalian tahu? Setelah membiarkan hening menggerogoti selama beberapa menit, pemuda angkuh bernama Angkasa itu kembali berucap dengan kalimat pematah harapan.
'gausah dijawab, gue tau lo gak mungkin suka sama gue'
Sudah dibuat gonjang-ganjing, endingnya malah mengecewakan. Memangnya Asa kira Winta suka melakukan senam jantung seperti tadi? Cih, Winta jadi penasaran apa yang akan terjadi bila dirinya melayangkan kata 'iya' sebagai jawaban dari pertanyaan Asa perihal perasaannya.
"Gak peka banget sih!!!" Serunya lagi tanpa peduli dengan banyaknya mata yang mengamati.
"Winta? lo kenapa?"
Winta menoleh, mendapati seorang gadis cantik yang melempar senyum kikuk dengan wajah heran.
"Hanaaa-- kayaknya mas Elang kakak tiri gue deh han. Masa dia tega nyuruh gue pulang sendiri" rengek Winta bak anak kecil yang kehilangan jejak ibu di pasar swalayan.
Hana tampak terkekeh ringan, "Emang mas elang kemana?" ujarnya sembari membalas pelukan Winta dengan tepukan hangat di pundak gadis tersebut.
"Tidur kali, gak bisa dihubungin. Dia gak khawatir apa adeknya yang gemes ini bakal diculik kalo naik angkot sendiri"
"Kalo gitu pas banget, kita pulang bareng aja. Tapi ke minimarket dulu ya, ada yang mau gue beli soalnya"
"Lah, lo gak balik sama kak Nata?"
Hana tampak menghela sejenak, seakan ada secuil kecewa namun tak bisa disuarakan dengan lantang. "Biasalah, kapten basket banyak urusan"
"Dih sok sibuk beliau, kayak caya deh"
"Oh iya, caya kemana?"
Winta mengibaskan tangan di udara, memasang raut yang sukar dijelaskan dengan gelengan singkat pada kepala. "Gak usah ditanya, yuk jalan" ajaknya seraya menarik Hana untuk melangkah bersama.
Dimulai dari menjelajah mini market sampai hampir melewatkan pemberhentian karena asik mengobrol di dalam angkot, sepasang rekat yang sempat renggang ini akhirnya menapaki aspal perumahan dengan tawa riang yang tak ada habisnya. Seakan telah menemukan relasi dalam kesenjangan, mereka berhasil menjalin tali yang pernah putus hingga kembali tampak seperti baru.
Dan sekarang, di depan hamparan rumput hijau yang sudah disinari jingga, Hana menghentikan langkah dengan senyum sederhana yang tampak tulus dilukiskan. Melirik Winta yang turut terdiam, lalu memberi isyarat untuk singgah dan mendapat anggukan sebagai bentuk persetujuan.
Mereka menduduki sepasang ayunan tua yang telah di cat berulang-ulang demi menghindari karat dan terjaga keawetannya. Ditemani semilir angin dan indahnya langit senja, kenangan akan pertemuan pertama menjadi topik yang cocok untuk diajak bernostalgia.
Kira-kira sudah dua belas tahun lamanya, namun kejadian di lapangan hijau yang merupakan halaman belakang mushola ini masih terekam jelas dalam masing-masing kepala. Hana ingat betul-- di suatu sore yang mendung sepulang dari belajar mengaji, seorang gadis kecil tiba-tiba mengajaknya untuk berburu belalang padahal mereka tak saling mengenal.
![](https://img.wattpad.com/cover/376486731-288-k183716.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita dan Rasa
Teen Fictiontentang aku, kamu, dan segala rasa dalam rangkai cerita bergema kita