01 : Topi dan Tanya

71 8 2
                                    

Seperti kebanyakan manusia di muka bumi, Anindya Winta Batari juga tergolong kedalam kaum pembenci hari Senin. Ia tidak menyukai fakta bahwa libur akhir pekannya telah berakhir, tak suka dengan keramaian di Senin pagi, apalagi upacara yang membuatnya harus berdiri lama dibawah terik mentari.

Namun tak peduli dengan kutukan benci dan keluh yang ia suarakan melalui gejolak hati, kehidupan Winta tetap harus berjalan sebagaimana bumi bekerja. Dimulai dari bangun lebih awal hingga berserah kala dingin menyerang tubuh melalui guyuran air; semua itu tetap Winta lewati meski harus bergulat dengan rasa malas yang memaksa untuk segera menyerah.

Dan setelah melewati berbagai persiapan untuk mengawali hari, Winta pun mulai menghentikan langkah diambang gerbang menuju meja makan. Ia berdiam. Mengamati sejenak para manusia yang telah berkumpul- untuk sekedar mengabsen kelengkapan anggota keluarga. Sudah ada Ayah, bunda dan kedua saudara laki-lakinya disana. Seperti biasa, Winta selalu menjadi anggota terakhir yang bergabung ke dalam kegiatan sarapan.

Masih tak beranjak dari tempat yang sama, kini netra Winta terfokus pada seorang pemuda yang tampak kumal dengan muka bantal dan penampilan berantakan. Itu adalah Erlangga Pramudya, si sulung pemilik jam tidur paling kacau karena banyaknya tugas kuliah. Erlangga merupakan mahasiswa kedokteran yang sering begadang atau pulang kelewat malam. Jarang muncul di meja makan untuk sarapan, atau jika muncul akan berbentuk seperti gelandangan yang kelaparan.

"Bediri mulu kayak patung idup, buruan makan ntar telat. Gak bosen apa nulis nama di catatan keterlambatan? Guru aja pasti udah bosen baca nama mbak win"

Seruan menyindir itu sontak membuyarkan lamunan Winta. Membuatnya menghela pasrah lalu melanjutkan langkah, hingga berakhir menduduki bangku kosong di depan manusia ter-menyebalkan di rumah. Cayapata Mahardika namanya, si bungsu dengan jiwa netizen yang kental. Dulu saat tengah mengandung Caya, bunda sangat suka mendengarkan siaran gosip di televisi. Dan saat masih balita pun Caya sering diajak bunda menonton siaran infotainment. Jadi bukankah wajar jika pemuda ini tumbuh dengan otak yang telah terasah dalam ke-julid-an? Bahkan mulutnya pedasnya itu tak pernah sungkan berucap tanpa melihat keadaan.

"Besok eyang kesini, kalian jangan nakal-nakal ya"

"Yah bunda, kok gak bunda aja yang ke Yogya? Kenapa harus eyang yang kesini sih?" Keluh Winta segera setelah mendengar kabar yang terdengar buruk baginya.

Tunggu!
Winta bukanlah jenis cucu yang tak tahu diri apalagi sampai membenci sosok ibu dari bundanya sendiri. Malah sebaliknya, menurut Winta eyang-lah yang tidak menyukai dirinya. Sejak kecil eyang selalu mengatur Winta ini dan itu. Tidak boleh memanjat pohon, tidak boleh memakai celana pendek, duduknya harus begini, makannya harus begitu. Rasanya seperti apapun yang Winta lakukan akan selalu salah di mata eyang. Berbeda sekali dengan caranya memperlakukan Caya. Eyang akan memanggilnya dengan gelar 'cah bagus' dan menuruti apapun yang adiknya itu inginkan.

"Winta gak boleh gitu. Kamu juga udah lama gak ketemu eyang, emangnya gak kangen?"

"Bukan gitu yahh.."

"Udah, pokoknya suka nggak suka eyang udah pesen tiket kereta dan akan berangkat besok subuh. Jadi kalian harus jaga sikap, tahu kan eyang orangnya gimana?"

Winta hanya menghela pasrah, sementara Caya tampak tersenyum senang seakan tak sabar dengan penderitaan yang akan menghampiri kakak perempuannya.

Ah, ketenangan di hidup Winta sedang dalam bahaya.

"Eh Win, titip jaketnya runa dong. Kemaren ketinggalan di mobil gue"

Baru saja hendak menyendok nasi di piring, perhatian Winta sudah lebih dulu dirampas oleh suara yang menyerukan namanya.

Kita dan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang