04 : Warna

39 5 3
                                    

Langit membiru. Dihiasi pancaran sinar yang tak terlalu menusuk, lengkap bersama semilir angin yang membawa sejuk. Harusnya ini menjadi pagi yang indah untuk mengawali hari. Namun wajah gadis yang sejak tadi tak bergeming tampak terlalu murung untuk sekedar dianggap baik.

Asa memperhatikan Winta yang berjalan seiring dengannya. Menyadari sebuah keanehan, namun terlalu gengsi untuk mempertanyakan. Kalau biasanya Winta akan mengoceh panjang lebar, kali ini ia hanya diam bahkan tanpa sedikitpun lirikan. Tak berkomentar tentang seberapa cepatnya asa melajukan motor, atau sekedar menanyai menu sarapan Asa seperti biasa.

Tepat ketika mereka hampir mencapai tujuan, Angkasa tampak menggerakkan jemari. Berusaha melindungi kepala winta yang hampir menabrak pintu kelas dengan telapak tangannya sendiri.

"Kalo jalan liat ke depan" ujarnya memperingatkan.

Menyadari kebodohannya, Winta pun segera melirik Asa sembari merajut senyum kikuk yang dipaksa untuk muncul.

"Kenapa sih lo?" tanya Asa yang mulai menyerah menahan penasaran.

"Badmood" jawab Winta jujur sembari memanyunkan bibir.
"Gue kedinginan karena lo bawa motornya ngebut" sambungnya beralibi.

Sebenarnya Winta tak sepenuhnya berbohong. Tubuhnya memang merasa dingin karena terpapar angin di perjalanan. Namun perihal suasana hati yang tidak baik, kalian juga tahu apa alasan sesungguhnya.

Asa menghela singkat, "lain kali kalo berangkat bareng gue pake jaket. Motor gue bukan mobil bokap lo yang tertutup rapat"

"Kasih pinjem jaket kek atau apa, biar romantis gitu kayak di drama drama" tanggap Winta berusaha mencairkan diri, lalu disambut tatapan tajam dari lawan bicara.

"Becanda Asa" ralatnya memamerkan deretan gigi yang rapi.

"Nah, Winta aja! Dia cocok nih"

Kalimat pertama yang ia dengar ketika memasuki kelas sontak membuat hati Winta merasa tak tenang. Bukan apa-apa, tapi yang barusan berseru adalah Gio-- teman sekelas yang sangat hobi mencari masalah dengannya.

"Apaan yang cocok? Jadi anggota girl band korea?" seru Winta kemudian.

"Jadi maskot kelas pas acara ulang tahun sekolah. Itung-itung latihan sebelum debut"

"Dih ogah. Kenapa harus gue coba? Yang lain kan banyak"

"Karena yang lain udah ikut lomba terus sisanya panitia acara. Dan lo tau lah gimana rempongnya nih sekolah, kalo gak ngirim perwakilan ntar kita didenda"

"Runa aja tuh, runa cantik bakatnya juga banyak. Ya gak run?" Tunjuk Winta mengedipkan sebelah mata pada sang sahabat.

"Dih, gue kan panitia"

Winta berdecak sebal, "gue bayar dendanya deh"

"Bukan itu masalahnya win. Urusan bayar denda doang mah duit gue juga banyak" kini Candra ikut berbicara.

"Kalau gak ngirim perwakilan seleksi maskot, kelas kita bakal di blacklist dari liga sekolah akhir tahun. Yakali kita udah latihan sama bikin kostum kagak jadi ikut"

"Yaudah lo aja yang jadi maskot"

"Lo gantiin gue tarik tambang putra ya"

"Ish kalo gini mah namanya gue dijadiin tumbal"

Winta mengerutkan bibir. Bukannya tak mau berkorban demi kelas, namun menjadi maskot berarti harus menampilkan suatu bakat diatas panggung acara pembukaan yang waktunya tinggal menghitung hari.

"Yaelah win, ini tuh kesempatan lo buat unjuk gigi"

"Unjuk gigi kepala lo melayang. Yakali gue naik panggung cengar-cengir doang"

Kita dan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang