Bab 26: Pernikahan yang Akan Tiba
Hari itu, rumah terasa lebih hidup dari biasanya. Suara tawa dan obrolan memenuhi ruang tamu, membawa aura kebahagiaan yang biasanya hanya hadir di momen-momen spesial. Kedua orang tua kami, yang datang dari kampung pagi ini, duduk di ruang tamu bersama mbak Anggi, terlihat penuh antusiasme membahas pernikahan yang akan digelar besok.
Aku berdiri di ambang pintu dapur, memperhatikan mereka dari kejauhan. Di tengah kebahagiaan itu, ada rasa canggung yang menjalari diriku. Kedatangan orang tua kami selalu menjadi momen yang aku nantikan sekaligus hindari. Ayah selalu bersikap hangat dan bijaksana, tetapi ibu... ibu selalu punya cara untuk membuatku merasa seperti tamu di rumahku sendiri.
“Aduh, Anggi, Ibu senang banget akhirnya kamu mau nikah,” suara ibu terdengar penuh semangat. “Mas Firman itu laki-laki yang baik. Kamu beruntung bisa dapet dia.”
“Iya, Bu,” balas mbak Anggi sambil tersenyum. “Doain aja semuanya lancar, ya.”
“Tentu, nak. Ibu udah nggak sabar lihat kamu jadi pengantin,” tambahnya, matanya berbinar-binar.
"Aduh menantu ibu, ini nih pah yang namanya generasi bibit unggul" sanjung ibu, mas firman hanya tersenyum ramah tanpa sepatah katapun
Dari kerutan keningnya terlihat keraguan yang di pertimbangkan begitu dalam
Ayah tertawa kecil di sampingnya. “Ibu kamu itu, Anggi. Dari dulu kalau soal nikahan selalu paling heboh.”
“Lah, ini kan anak kita, Yah,” balas ibu sambil melirik ayah dengan nada bercanda. “Lagipula, Anggi ini anak yang paling bisa bikin ibu bangga.”
Aku menggigit bibirku, mencoba menahan rasa perih yang muncul setiap kali ibu mengucapkan kata-kata seperti itu
Dia tidak mengatakan apa pun yang salah, tetapi aku tahu, di balik pujian itu ada perbandingan yang tak pernah diungkapkan dengan jelas tetapi selalu terasa.
“Mana si Adit?” tanya ibu tiba-tiba, suaranya berubah sedikit lebih datar.
Aku menghela napas pelan, kemudian berjalan mendekat. “Ibu, aku di sini,” kataku sambil berdiri di dekat pintu
Semua padangan kini tertuju pada ku tak terkecuali mas Firman yang selalu menatap ku tanpa henti
“Oh, kamu,” jawabnya singkat. “Bantu-bantu di dapur, kan?”
“Iya, Bu,” jawabku, mencoba terdengar netral meskipun aku tahu maksud tersirat di balik pertanyaannya.
"Bagus!." Serunya. Rasanya seperti pembantu yang di gaji bulanan
“Ibu, Adit itu udah banyak bantu dari kemarin-kemarin,” kata mbak Anggi, nada suaranya terdengar sedikit tajam. “Kalau nggak ada dia, persiapan kita mungkin nggak akan selesai tepat waktu.”
“Aku tahu,” balas ibu sambil melambaikan tangannya seolah tidak mau memperdebatkannya. “Tapi tetap aja, Anggi. Kamu ini anak perempuan ibu. Jadi ya wajar kalau ibu lebih peduli sama kamu.”
Aku terdiam, berusaha menyembunyikan perasaan yang mulai menggelegak di dadaku. Ini bukan pertama kalinya ibu mengatakan hal seperti itu, tetapi setiap kali mendengarnya, rasanya tetap sama menyakitkan.
Salah satu hal yang membuat ku iri dengan anak lain di kampung adalah sifat ibu yang seperti tidak menginginkan kehadiran ku, berbeda dengan anak lain yang selalu di manjakan ibunya
“Adit juga anak ibu, Bu,” kata mbak Anggi, kali ini suaranya lebih lembut. “Meskipun mungkin caranya berbeda, dia juga berusaha bikin ibu bangga.”
Ibu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum kecil, tetapi senyumnya itu lebih terasa seperti sikap mengalah daripada pengakuan bahkan terkesan meremehkan
Setelah makan siang, aku memutuskan untuk pergi ke kamar sebentar, mencoba menghindari suasana di ruang tamu yang terasa semakin berat bagiku

KAMU SEDANG MEMBACA
GAIRAH SE* ABANG IPAR KU 18+
Lãng mạn⚠️BL 18+⚠️ Semua episode berisi adegan 18+ Mohon kebijakan nya Prolog "Merebut suami kakak ku yang seorang TNI dan hyper seks"