enam belas

11K 218 1
                                    

Bab 16: Menghadapi Kehancuran

Tap… Tap…

Langkah kaki mbak Anggi terdengar semakin menjauh, memanjat tangga menuju kamar yang baru saja aku tinggalkan. Dadaku berdebar kencang, seakan hendak pecah. Bayangan mas Firman yang masih terlelap di kamarku, tanpa sehelai pakaian, menghantui pikiranku.

"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang?"

Aku menguatkan diri dan memanggil sekali lagi, "Mbak Anggi! Tunggu sebentar!"

Dia menoleh sebentar, wajahnya menunjukkan kebingungan. “Ada apa sih, Dit? Kamu kok kayak panik banget?”

Aku mencoba menahan napas dan mencari alasan. “Eng-enggak, mbak. Maksudku, biar Adit aja yang bangunin mas Firman. Kan mas Firman sering kesel kalau dibangunin orang lain.”

Mbak Anggi berhenti di tangga, memandangi aku dengan tatapan curiga. “Kamu yakin nggak ada apa-apa? Kayaknya kamu aneh deh dari tadi.”

“Beneran nggak apa-apa, mbak,” jawabku cepat. Aku hampir tidak bisa menyembunyikan getaran dalam suaraku. “Adit aja yang bangunin mas Firman. Mbak istirahat aja, biar Adit yang urus semuanya.”

Dia menghela napas dan mengangkat alis, tetapi akhirnya menyerah. “Ya udah, kalau kamu maksa. Tapi habis ini langsung turun makan, ya!”

Aku mengangguk cepat, tanpa berani menatap matanya terlalu lama. Begitu dia berbalik dan melangkah ke dapur, aku melesat naik ke kamar, dua anak tangga sekaligus.

Pintu kamar masih tertutup rapat. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum memutarnya perlahan. Begitu aku masuk, pemandangan yang aku takutkan ternyata benar adanya: mas Firman masih terbaring di kasur, tubuhnya hanya diselimuti sehelai selimut tipis. Wajahnya terlihat damai, seakan tak ada beban di dunia ini.

“Mas Firman, bangun!” bisikku dengan nada mendesak.

Dia hanya menggumam pelan, matanya tetap tertutup. Aku mengguncang bahunya, kali ini lebih kuat. “Mas, tolong bangun! Ini darurat!”

Dia membuka matanya perlahan, dan senyuman kecil muncul di wajahnya. “Ada apa sih? Kamu panik banget.”

“Mas, mbak Anggi tadi hampir masuk ke sini! Kalau dia sampai tahu mas masih di kamar Adit dalam keadaan…” Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku. “Mas harus pergi sekarang!”

Dia menatapku dengan malas, lalu menarikku ke kasur. “Tenang aja, Dit. Kita kan nggak ngelakuin sesuatu yang salah.”

Aku tersentak mendengar kata-katanya. “Nggak salah? Mas Firman, apa yang kita lakukan tadi jelas salah! Mas itu suami kakak aku, tahu nggak?”

Ekspresi wajahnya berubah serius. “Tapi aku nggak bisa bohong sama perasaan aku, Dit. Aku cinta sama kamu. Aku tahu ini salah, tapi aku nggak mau berhenti.”

Aku mematung di tempat, lidahku kelu. Sebagian diriku ingin percaya pada kata-katanya, tetapi kenyataan tetap menghantamku. Ini salah. Apa pun yang dia katakan, apa pun yang aku rasakan, semuanya tetap salah.

“Mas, tolong keluar sekarang sebelum mbak Anggi curiga,” desisku pelan, menahan emosi yang sudah memuncak.

Dengan enggan, dia akhirnya bangkit dari kasur dan mulai mengenakan pakaiannya. Aku menatapnya dalam diam, mencoba mengabaikan perasaan yang bergolak di dalam dadaku. Setelah berpakaian, dia mendekat dan meraih tanganku.

“Dit, tolong pikirin lagi,” katanya lirih. “Aku tahu ini nggak mudah, tapi aku serius sama kamu.”

Aku menepis tangannya, tidak sanggup menatap matanya. “Keluar, mas. Aku nggak mau ngomong apa-apa lagi.”

Dia terdiam sejenak, lalu melangkah keluar tanpa sepatah kata.

Begitu pintu tertutup, aku terjatuh ke lantai. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya tumpah. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku merasa seperti pengkhianat, tidak hanya pada mbak Anggi, tetapi juga pada diriku sendiri.

“Apa yang sebenarnya aku lakukan?” bisikku pada diri sendiri.

Aku menghabiskan sisa malam itu di kamar, berusaha menenangkan diri. Aku tahu aku harus membuat keputusan. Jika terus seperti ini, aku hanya akan menghancurkan semuanya: hubungan keluarga, kehormatan mbak Anggi, bahkan harga diriku sendiri.

Keesokan paginya, aku terbangun dengan perasaan lelah. Mataku bengkak karena menangis semalaman. Aku tahu aku harus bertindak biasa saja di depan mbak Anggi dan mas Firman, seolah tidak ada yang terjadi.

Saat aku turun ke ruang makan, mbak Anggi sedang menyajikan sarapan. Mas Firman sudah duduk di meja, membaca koran seperti biasa. Aku menghindari kontak mata dengannya dan langsung duduk di kursi paling jauh darinya.

“Adit, kamu kenapa? Kok keliatan capek banget?” tanya mbak Anggi, nada suaranya penuh perhatian.

“Enggak, mbak. Cuma nggak tidur nyenyak aja,” jawabku singkat.

Mas Firman melirikku dari balik koran, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Aku bersyukur karena mbak Anggi tidak memperhatikan ketegangan di antara kami.

Saat kami hampir selesai sarapan, mbak Anggi tiba-tiba berkata, “Mas Firman, aku ada cerita lucu tadi malam.”

Aku menegang di tempat. “Cerita apa, mbak?” tanyaku cepat, berusaha mengalihkan perhatian.

“Tadi malam waktu aku hampir ke kamar mas Firman, Adit tiba-tiba panik banget! Dia sampai narik-narik aku supaya nggak naik ke atas. Lucu deh liat dia kayak begitu.”

Aku tertawa kaku, sementara mas Firman hanya tersenyum tipis. “Oh ya? Kenapa kamu panik begitu, Dit?” tanyanya, nadanya terdengar seperti mengejek.

Aku menggigit bibir, berusaha mencari alasan. “Ah, nggak ada apa-apa, kok. Aku cuma… takut mbak Anggi ganggu mas Firman yang lagi istirahat.”

Mbak Anggi tertawa kecil, tampaknya tidak menyadari apapun. Tetapi mas Firman menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.

Hari itu, aku mencoba menghindari mas Firman sebisa mungkin. Aku tahu aku harus membuat keputusan segera, sebelum semuanya terlambat. Malam harinya, aku menulis surat untuknya.

"Mas Firman,
Aku nggak tahu harus mulai dari mana, tapi aku tahu aku harus jujur. Apa yang terjadi di antara kita salah, dan aku nggak mau ini terus berlanjut. Aku nggak bisa mengkhianati mbak Anggi, dan aku nggak bisa terus hidup dengan rasa bersalah ini.

Mas harus berhenti mencari aku. Kita harus kembali seperti dulu, sebelum semuanya menjadi kacau. Aku mohon, mas. Jangan buat ini semakin sulit.

Adit."

Aku melipat surat itu dan menyelipkannya di bawah pintu kamarnya. Begitu surat itu terkirim, aku merasa beban di dadaku sedikit berkurang.

Tetapi jauh di dalam hati, aku tahu perasaan ini belum selesai. Tidak akan pernah selesai.


Malam itu, aku tertidur dengan perasaan campur aduk. Aku berharap, besok pagi semuanya akan berbeda. Tetapi aku tahu, mas Firman tidak akan semudah itu menyerah.

---

GAIRAH SE* ABANG IPAR KU  18+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang