Pacar Cueknya Flora

919 81 0
                                    

Flora duduk di ruang tamu apartemen kecil mereka dengan pandangan kosong. Tangannya memegang cangkir teh yang sudah dingin, namun pikirannya melayang jauh. Hubungannya dengan Freya sudah berlangsung tiga tahun, tetapi akhir-akhir ini terasa seperti berjalan di tempat. Freya selalu cuek, seolah hubungan mereka hanya sekadar formalitas. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada kata-kata manis, bahkan ucapan selamat pagi sering kali terlewatkan.

Freya yang baru pulang kerja meletakkan tasnya di sofa tanpa berkata apa-apa. Dia melepas sepatu dan berjalan ke dapur, mengambil sebotol air dari kulkas. Tatapannya sekilas bertemu dengan Flora, namun tidak ada senyum atau sapaan.

“Freya,” panggil Flora pelan, mencoba memulai percakapan.

“Hm?” Freya hanya bergumam sambil membuka tutup botol.

Flora menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. “Kita perlu bicara.”

Freya memandangnya dengan alis terangkat. “Bicara apa? Sekarang?”

“Iya, sekarang.” Flora meletakkan cangkirnya di meja, kedua tangannya kini menggenggam lututnya yang gemetar. “Aku nggak bisa terus begini. Aku merasa kita sudah nggak ada apa-apa lagi. Kamu selalu cuek. Aku nggak tahu apakah kamu masih peduli atau tidak. Aku capek.”

Freya menatap Flora dengan tatapan yang sulit diartikan. “Capek? Maksudmu apa?” Nada suaranya datar, namun ada sedikit ketegangan.

Flora menelan ludah, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku mau putus, Freya. Aku nggak tahan sama sikap kamu. Aku nggak merasa dihargai, nggak merasa dicintai. Apa kamu sadar kalau kamu hampir nggak pernah menunjukkan kalau aku penting buat kamu?”

Freya terdiam, botol air di tangannya sedikit tertekan. Dia berjalan mendekati Flora, lalu duduk di sofa di sebelahnya. “Jadi, cuma karena itu kamu mau putus?” tanyanya dengan nada yang terdengar lebih dingin dari sebelumnya.

Flora menatapnya tak percaya. “Cuma karena itu? Freya, aku udah coba bertahan bertahun-tahun. Aku selalu berharap kamu berubah. Tapi kamu nggak pernah menunjukkan kalau kamu benar-benar peduli.”

Freya menghela napas panjang, menatap lurus ke depan. “Aku nggak setuju.”

“Apa?” Flora terkejut. “Kamu nggak setuju kalau kita putus? Itu bukan keputusan kamu saja, Freya. Aku punya hak untuk menentukan apa yang terbaik buat aku.”

Freya menggeser tubuhnya lebih dekat ke Flora, kini menatap langsung ke matanya. “Aku nggak setuju. Kamu mau aku berubah? Oke, aku akan coba. Tapi aku nggak akan biarkan kamu pergi begitu saja. Aku nggak bisa.”

Flora mengerutkan kening, merasa bingung sekaligus frustrasi. “Kamu nggak bisa memaksaku untuk tetap di sini kalau aku udah nggak bahagia, Freya. Ini bukan tentang siapa yang menang atau kalah. Ini tentang perasaan kita.”

Freya menggenggam tangan Flora, sesuatu yang jarang dia lakukan. “Aku tahu aku bukan orang yang baik dalam menunjukkan perasaan. Tapi aku nggak pernah berhenti peduli sama kamu. Aku hanya nggak tahu cara yang benar buat menunjukkannya.”

Flora menarik tangannya perlahan. “Kamu nggak tahu caranya? Freya, aku udah kasih kamu banyak kesempatan buat belajar, tapi kamu selalu pilih untuk tetap seperti ini. Aku nggak bisa terus berharap sama sesuatu yang nggak pasti.”

Freya tampak gelisah, sesuatu yang jarang Flora lihat. “Aku tahu aku salah. Tapi Flora, aku nggak bisa bayangin hidup tanpa kamu. Kamu satu-satunya orang yang bikin aku merasa ada tujuan. Kalau kamu pergi, aku nggak tahu harus gimana.”

Flora terdiam, hatinya berdebar. Sebagian dari dirinya ingin percaya kata-kata Freya, tapi bagian lain merasa lelah dengan janji yang mungkin hanya kosong. “Kalau kamu benar-benar peduli, kenapa selama ini kamu nggak pernah tunjukkan? Aku nggak butuh kata-kata, Freya. Aku butuh tindakan.”

FreFloShoot (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang