"Suatu kepercayaan itu bisa hadir dalam dirimu sendiri, tapi landasan yang mengiringnya juga harus logis, Jane. Jika kau tak bisa menyusun pola yang terhubung atas ceritaku, maka kau lah yang patut dipertanyakan."
"Berlagak dungu atau memang menolak fakta, wahai panglima Arendelle yang katanya genius?"
"Kau memang selengah itu yang tak menandai bahwa Victory begitu licik. Sedari awal, jika memang dia mencintaimu, fakta ini tak akan kau dengar dari mulut orang lain, 'kan?"
Kata-kata Arutala terus terngiang selama Jane menempuh sisa perjalanannya ke Arendelle.
Pertemuannya dengan Arutala barusan sungguh membuatnya berpikir.
Benarkah Victory demikian?
Jane, memejamkan mata menahan air mata, giginya menggertak marah.
Kematian ayahnya, begitu membuatnya terdistraksi akan beberapa hal.
Ia kembali menghubungkan kematian ibunya dengan cerita yang Arutala jabarkan.
Jika di telaah kembali, selama ini Jane tak pernah tahu alasan kematian sang ibu.
Dan selama ini, ia tak benar-benar mengenal karakteristik suaminya itu.
Bibirnya terlipat, menandakan ia begitu bingung akan kebenaran yang sebenarnya.
Saat ini, ia tak bisa menyimpulkan siapa yang benar, dan Jane juga tidak akan mempercayai siapapun.
Tiba di istana Arendelle yang di luar gerbang telah dikerumuni banyak warga, mendekatkan diri untuk turut berduka atas kematian raja mereka.
Jelas sudah, bahwa ayahnya memang telah tiada.
Turun dari kuda, Jane langsung berlari memasuki istana. Tangannya terkepal dengan mata yang berusaha menahan air matanya.
Tepat di ruang tengah, seluruh orang berkumpul, para konsultan istana, rekan aliansi beberapa kerajaan turut hadir mengitari sebuah peti mati yang tepat berada di tengah-tengah.
Jane terpaku memandang semua itu. Ini nyata, dan bukan khayalannya.
Veronica tampak tak berdaya berada di samping peti mati ayahnya, ia meluruh ke lantai dengan tangis yang begitu menyesakkan.
"Jane." Pangeran El memanggilnya dengan nada yang penuh dengan keputusasaan.
"Ini tidak benar 'kan, kakak ipar? Yang di dalam peti mati itu bukan ayahku, bukan Raja Edward yang tangguh, karena dia tidak mungkin mengakhiri hidupnya semudah ini." Tanyanya bergetar, tanpa memutuskan pandangannya pada peti mati.
El menggelengkan kepalanya tak kuasa. "Maaf, Jane... maaf karena gagal menjaga ayah.."
"TIDAK MUNGKIN, KAKAK IPAR!! AYAH TIDAK AKAN SEMUDAH ITU MENYERAHKAN HIDUPNYA!!!!!" Bentak Jane dengan emosi yang ia lampiaskan sepenuhnya pada El, tatapannya tajam dan pengelakan fakta saat ini membuatnya tidak terkendali.
Semua orang menoleh untuk memusatkan atensinya pada Jane, tak terkecuali Veronica. Kemudian wanita itu berdiri dengan keputusasaan untuk menghampiri adiknya.
El memegang pundak Jane untuk menenangkannya, "Jane... aku juga sulit menerima fakta ini, tapi inilah yang terjadi... tolong kendalikan dirimu.."
"TIDAK BISA DIPERCAYA!!! AKU HARUS MEMERIKSA SENDIRI APAKAH AYAH MASIH HIDUP!!!! DIA TIDAK MUNGKIN MENINGGALKANKU, KAK!!!"
Jane menghentak kedua tangan El yang berada di pundaknya, lalu dengan satu gerakan tegas dan penuh amarah, ia berlalu, hendak menuju peti mati ayahnya.
Namun Veronica yang berdiri menghadangnya membuat Jane berhenti.
Mereka saling pandang dengan sirat yang penuh kesedihan mendalam.

KAMU SEDANG MEMBACA
QUEEN OF ARENDELLE
Romance"Lakukan upacara penobatan dan ambil tahta kerajaan ini di ulang tahunmu yang ke-25 nanti." Ruby Jane, yang kini statusnya adalah Putri Mahkota mengernyit tak suka mendengar perintah sang Ayah, Edward, Raja Arendelle. "Memanah dan memburu akan kula...