Part 3

129 10 2
                                    

Tak terasa sudah satu bulan lebih berlalu setelah aksi tutorku (tentunya masih dilanjutkan). Aku menatap malas wali kelasku yang sedang menjelaskan acara tahunan yang selalu diadakan di sekolahku ini. Class meeting, atau kata kerennya festival (sebutan anak-anak) yang katanya tujuannya untuk mempererat hubungan seluruh murid di sekolah. Tentu saja ada maksud dibalik itu semua.

Untuk menemukan perserta yang pas untuk JDCUP.

Kali ini host-nya adalah SMA Jaya. Kepala sekolah yang sekarang sangatlah berapi-api untuk membalaskan kekalahan tahun kemarin. Lombanya cukup banyak, mulai dari bidang olahraga (basket, voli, futsal), musik, seni, dan debat. Well, aku sendiri hanya kebagian tim yang tersisa saja. Selain itu, karena sisa, biasanya tidak akan menang apalagi terpilih jadi tim.

Kelas mulai ribut menentukan para persertanya. Yang menjadi panitia lomba tidak boleh menjadi pemain dalam lomba yang dia jaga. Selain itu, setiap orang hanya boleh mengikuti satu lomba.

"Sam, lu mau ikut apa?" tanya Albert, ketua kelasku.

"Apa aja deh. Terserah," jawabku asal. Albert manggut-manggut sebentar sebelum akhirnya perkataannya hampir membuatku jungkir balik.

"Ikut band ya?" Melihat reaksiku, Albert menambahkan, "debat udah penuh. Kalau seni, elu juga gak bisa gambar."

"Kenapa gak futsal? Atau basket? Atau cabang olahraga lainnya?" tanyaku pelan. Aku kan bisa jadi cadangan.

"Emang, sih, lu nilai OR-nya gak jelek. Tapi butuh team work dan itu sama sekali gak ada sama elu," jawabnya yang nyessss sekali kawan-kawan.

Aku menaikkan kacamataku yang melorot. Memang benar, sih. Bukannya aku gak ada team work. Aku akui, aku memang ingin sekali bermain dengan mereka. Tetapi aku tidak mau menjadi tenar kalau aku bisa bermain berbagai macam olahraga.

"Ya udah, kelompok band duduk di sebelah sana, tuh. Mau bahas soal festival lagi," ucapnya setelah mendapat anggukkan kepala pasrahku ini. Aku mengambil tasku lalu berjalan dengan lemas ke arah kelompok musik yang ngumpul di kelas bagian belakang. Kira-kira sudah ada empat orang disana. Dengan tidak minat aku duduk lalu mendapati beberapa pasang mata menatapku. Agak risih, tapi tidak kuperdulikan.

Aku nyaris jungkir balik lagi, ketika mendapati orang yang sudah menjadi teman tutorku selama satu bulan. Orang yang nyaris selalu hadir di dalam kehidupanku. Orang yang selalu membuatku gagal jantung, selalu masuk ke dalam pikiranku. Orang yang hampir membuatku nyaris gila.

Masih gak tau siapa?

Ya tentu saja, Kei, Keiro Shinci. Cowok yang berumur 17 tahun, mukanya terlalu imut untuk disebut cowok, tetapi di satu sisi, dia terlihat amat sangat tampan. Keturunan campuran Jepang-Amerika, lahir di Jepang. Memiliki semua fisik je-Jepang-an selain hampir sepundak berwarna agak pirang itu. Tingginya 170-an, kalau gak salah 173. Beratnya..., sekitar 50 kg. Memiliki fans segunung, baik di dalam maupun di luar sekolah, laki-laki atau perempuan, dari bayi hingga kakek-nenek pun amat menyukainya. Super duper ramah dan murah senyum, hampir bisa dalam segala bidang.

Hampir bisa.

Karena dia tidak pernah olahraga.

Dengar-dengar sih.... dengar-dengar ya, dia memiliki suatu luka atau trauma yang membuatnya tidak mau untuk berolahraga. Well, beberapa perempuan kecewa karena tidak bisa melihat idolanya di lapangan, sedang bermain dengan bola sambil bercucuran keringat.

.

.

.

Oke, kenapa aku jadi ngebayangin.

Our SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang