Chapter 25

66 6 1
                                    

Kara mendecak sebal saat melihat Arcell yang romantisan bersama adiknya. Ia sebenarnya tidak melarang tapi... Kedua kembar itu sama sekali tak tau tempat. Mereka saling suap-suapan bakso dikantin.

"Lo pada gak punya malu ya?" Kara menyinisi mereka berdua.
"Kalo iri bilang aja, Ra" Arcell mencubit pelan pipi Kara " Ra, Lo gak takut sama Aru pas lo bilang kaya gitu?"

Kara yang ingat kejadian tadi tidak berkata apa-apa. Ia tidak takut tapi bukan berarti ia berani. Kalau pun Aru marah itu salah nya yang asal bicara tentang sisi gelap keluarga Argatala. Kara mengerucutkan bibirnya sembari menatap mangkuknya yang masih ada 2 bakso.

"Lo gak mood makan? Atau Lo ngambek sama Aru?" Kalo kali ini Marcell yang bertanya. Kara menggeleng ia hanya kepikiran saat tadi pagi "Apa gue berobat aja ya? Daripada gue ngerepotin"

Kara terlihat sangat keras memikirkannya. Ia tidak ingin merepotkan orang-orang tapi ia juga takut untuk untuk berobat. Dulu ia sering pindah-pindah rumah sakit hanya untuk berobat, melihat wajah wajah khawatir orang disekitarnya membuatnya semakin tertekan. Kara selalu gagal untuk jujur didepan konselingnya semua koseling yang menangani Kara selalu mengundurkan diri karena lelah, lelah memutar otak untuk membujuk Kara bercerita dan lelah karena selalu dibohongi.

Jika Kara disuruh mencaritakan kisah hidupnya.... Itu kebohongan. Pikirannya sangat luas untuk membohongi seseorang, Kara tidak akan menceritakan masalah buatannya secara berulang-ulang dan bahkan mampu mengatur ekspresinya saat bercerita. Ia tidak pernah bercerita jujur kepada orang yang menurutnya asing. 

Saking galaunya Kara sampai tidak sadar bakso di mangkuknya menjadi segunung. Kembar Mahareza hanya memberikan 1 bakso masing-masing. Tapi dikantin itu banyak anak kelas mereka yang berkeliaran dan menyumbang 1 bakso satu orang. Mungkin mereka pada prihatin dengan wajah Kara yang benar-benar terlihat menyedihkan. Kara sejak mengatakan kalimat tadi ia tidak membuka mulut dan hanya menatap baksonya.

"Kara!" Marcell menyenggol bahu Kara. Tidak baik melamun terlalu lama.  Kara memejamkan matanya sebagai tanda ia sudah sadar, helaan nafas yang ringan keluar begitu saja. Membuka mata nya perlahan.

"Baksonya..." Kara terkejut dan sedikit kecewa. Bukanya ia tidak senang diberi bakso hanya saja perutnya sudah kenyang sekarang " Baksonya kok nambah? tadi cuman ada dua loh"

Kara menatap sikembar bergantian. Mereka berdua menaik turun kan bahunya dan tersenyum. 'Lo gak usah mikirin, makan aja' secara tidak langsung mereka mengucapkan itu. Ya... Namanya juga rezeki kan, syukuri saja. Ia tidak ingin mengecewakan orang yang telah peduli.

.

 . 

.

 .  

.

.

.

'Kriingg!'

Bel pulang berbunyi. Kara merapikan barang-barangnya dan membawa beberapa buku untuk belajar, jika ada waktu. Arcell yang sedari tadi melihat Kara menyedihkan akhirnya menghelakan nafas. Ada sesuatu yang dirindukannya dari Kara, tapi ia sendiri juga tidak tau apa itu. Rasanya aneh saja.

Arcell menghentikan tangan kiri kara yang sedang memasukan pulpen kedalam tasnya " Lo punya kebiasaan yang lo tinggalin semenjak smp gak?" Arcell terlihat serius saat menanyakannya. Kara tersenyum, sepertinya tidak akan mudah melakukan hal yang 'ditinggalkan' itu untuk sekarang.

"Tanya dulu ke Marcell trus minta ijin," Kara mengembangkan senyumannya "Gue juga bakal minta ijin ke Aru dulu" 

Kara merangkul Arcell lalu pergi meninggalkan kelasnya. Ia membuka aplikasi ojek online dihandphone nya, cukup motor saja. Tanpa berlama-lama kemudian sudah ada orang yang menerima orderan nya. Ia harus bergegas sebelum Aru marah dan menyuruhnya untuk hal aneh.


' Kara sayang Arcell '

Tiga kata yang tidak mungkin terlepas dari kehidupan Kara    

Crazy Love; Crazy Boyfriend [ HIATUS ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang