nineteen

205 32 2
                                    

Typo bertebaran



Happy reading.....




Masih di hari yang sama dan tempat yang sama. Namun kali ini hanya ada Jiandra dan Kevan yang duduk santai di kantin.

Kelas mereka sedang jam kosong, jadi kedua anak Adam itu memutuskan untuk bersantai di kantin yang sudah sepi. Di hadapan mereka masing-masing terdapat semangkuk soto panas, uapnya mengepul tipis, menemani obrolan ringan di antara mereka.

Siang ini diliputi hujan deras yang menderas tanpa henti. Jiandra dan kevan tetap asyik berbincang, membahas hal-hal random sembari menikmati makanan hangat. Meski makanan sudah habis, mereka memilih tetap duduk di tempat, menikmati suara hujan yang menenangkan.

Awalnya, pandangan Jiandra terfokus pada rintik hujan yang jatuh membasahi sekolah mereka. Namun, matanya kemudian beralih pada sosok bibi kantin dan anak kecilnya yang berjalan perlahan di bawah sebuah payung besar. Mereka tampak bersenda gurau, tawa si kecil begitu riang terdengar, terutama saat ia melompat-lompat melewati genangan air. Sesekali kakinya sengaja mencipratkan air, sementara sang ibu tersenyum sabar, memegangi payung dengan erat agar melindungi mereka dari hujan.

Pemandangan itu membuat Jiandra tersenyum kecil, menikmati kebahagiaan sederhana yang terpancar di tengah derasnya hujan.
"Sederhana...tapi kenapa gue gak pernah ngerasain itu sama bunda, ya?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

Kevan, yang sedari tadi duduk di dekatnya, menoleh. Ia menatap Jiandra yang memandang ke luar dengan senyum yang tak sepenuhnya cerah, lebih seperti semburat kesedihan yang samar.

"Aku juga pengen kayak mereka," lanjut Jiandra dengan suara lirih. "Hidup enak, punya keluarga yang utuh dari lahir. Keluarga Cemara, gitu..."

Kevan diam sejenak, mencoba menyusun kata-kata sebelum akhirnya berbicara. "Semuanya bakal terasa berat jika harus sempurna,Jia," tuturnya pelan. "Kita cuma lihat orang lain dari luar, kelihatan bahagia dan sempurna, tapi kita nggak pernah tahu apa yang sebenarnya mereka lalui. Gimana mereka berjuang buat bikin keluarga yang kelihatan kayak 'Keluarga Cemara' itu."

Ia menepuk pundak Jiandra dengan lembut, memberi dukungan. "Dan kamu tahu? Kalau semuanya sempurna, kita malah bisa lupa caranya bersyukur. Kakak tahu masa kecil kamu nggak gampang, kamu ngerasa sakit—tapi di balik itu semua, kamu juga harus lihat apa yang Allah kasih sekarang. Dia ganti semua rasa sakit kamu dengan kebahagiaan."

Kevan berhenti sejenak, memastikan Jiandra mendengarkan. "Allah hadirkan Mama Yuna buat kamu, yang bisa nerima kamu kayak anaknya sendiri. Plus, kamu dikasih Abang yang selalu ada buat kamu, nggak peduli apa pun yang terjadi. Itu bukan hal kecil, Jia. Itu adalah berkah yang harus kamu syukuri."

Kevan menghela napas sebelum melanjutkan, suaranya lebih lembut. "Masa lalu itu memang nggak bisa hilang, tapi kamu nggak perlu terus-terusan tinggal di sana. Kalau kamu terus ngelihat ke belakang, itu cuma bakal bikin kamu sakit lagi. Biarlah masa lalu itu jadi pelajaran, biar kamu bisa maju. Biar nanti, anak kamu nggak harus ngerasain apa yang pernah kamu alami."

Jiandra menunduk, air mata mulai mengalir di pipinya. Kevan, yang duduk di sampingnya, dengan cepat meraih tubuh kecil itu dan memeluknya erat.

"Terima kasih," bisiknya lembut di telinga jiandra. "Terima kasih udah mau bertahan sejauh ini.dan Maaf... maaf banget atas masa kecil kamu yang gak pernah kamu inginkan."

Kevan menarik napas dalam, suaranya mulai bergetar. "Kakak bangga sama kamu, dek. Kamu anak yang luar biasa. Kamu tetap bertahan, meskipun dulu mereka gak pernah peduli atau ngelirik ke arah kamu. Kamu lebih kuat dari yang kamu pikir."

Jiandra menggigit bibirnya, mencoba menahan isakannya, tapi semakin mendengar kata-kata Kevan, air matanya tak terbendung lagi. Pelukan kevan terasa seperti perlindungan yang selama ini ia cari—hangat dan tulus.

---

Tiga menit berlalu, Kevan masih terus memeluk Jiandra yang menangis tanpa henti. Ia biarkan itu, membiarkan semua yang mengganjal di hati anak itu keluar sepenuhnya.

"Hiks... srott..." Jiandra tiba-tiba mengelap ingusnya ke kerah baju Kevan. Yang diperlakukan seperti itu hanya bisa terdiam sejenak, sebelum menghela napas pasrah.

"Udah, ah. Meler banget ingusnya. Kotor baju kakak," gerutu Kevan, meski nadanya terdengar bercanda.

"Hiks... jahat! T-terus sejak kapan kamu manggil diri kamu kakak?" Jiandra mulai menghapus sisa air matanya, kali ini dengan ujung bajunya sendiri.

"Sejak om Rendra telepon.tadi Dia bilang, 'Kak, jagain adeknya ya, jangan sampai bolos.' Terus aku mikir, kalau dipanggil kakak kayaknya keren, biar beda dari Langit dan yang lain," jelas Kevan dengan santai sambil tersenyum lebar. "Jadi, mulai sekarang kamu panggil aku kakak, ya, adik manis~"

Jiandra langsung mendelik. "Dih, gak mau!"

"Ayolah~" Kevan memelas, membuat suaranya terdengar sengaja dibuat-buat. "Nanti aku beliin es krim sama jajan yang banyak.Deal?" Ia mengulurkan tangan dengan ekspresi penuh harap.

Jiandra menimang-nimang sejenak, memiringkan kepala seolah berpikir serius. Akhirnya, ia mendesah pelan. "Deal. Tapi mau banyak, ya."

"Oke, cintah!" jawab Kevan penuh semangat.

Jiandra langsung merinding mendengar itu. "Geli, anjir!" Ia memukul lengan Kevan pelan sambil menahan tawa.

"Hello para duda~, kalian ngapain di sini?" sapa Juan yang baru saja datang dengan wajah konyolnya.

"Mau nyusun strategi buat ngepet ntar malam," jawab Kevan santai, sembari menyeringai.

"Astaghfirullah," Juan mengusap dada, pura-pura syok sebelum melanjutkan, "Gue ikut dong! Nanti gue yang jaga lilin, kalian berdua aja yang jadi babi!" serunya penuh semangat.

"Gak. Lo aja yang jadi babi. Kan udah 11-12 sama mereka," timpal Jiandra sambil melirik sinis.

"Cih, gak asik mainnya fisik. Ngambek nih akyu~"ucap Juan pura-pura merajuk, menampilkan ekspresi berlebihan.

"Najis! Hoeek," sahut Kevan dan Jiandra serempak, langsung menunjukkan ekspresi jijik sambil menjauh.

Juan hanya bisa memutar mata, "Ih, jahat banget sih lo pada!"


















Haunted dormitory✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang