UTAMAKAN VOTE SEBELUM MEMBACA!
TYPO BERTEBARAN
HAPPY READING
•••
Sembilan bulan berlalu setelah berbagai konflik menegangkan di asrama. Kasim sudah lama tidak lagi menjadi bayang-bayang gelap, dan suasana kini kembali damai.
Sore itu, di asrama Al-Hadeed, Ali baru saja selesai mengadakan pertemuan dengan para syaikh. Ia berjalan menyusuri koridor halaman, matanya memandang ke sekeliling dengan penuh perhatian. Langkahnya terhenti saat mendapati para santri sedang belajar seni bela diri dengan seorang guru.
Ali mengamatinya dengan saksama, kedua tangannya disilangkan di belakang punggung, merasa bangga dengan kemajuan para santri. Namun, begitu menyadari kehadiran Ali, para santri dan guru itu langsung terdiam, memberi hormat dengan meletakkan tangan kanan di dada kiri sambil menunduk.
Ali mengangkat tangan kanannya, memberi isyarat agar mereka melanjutkan kegiatan seperti biasa, tanpa merasa terganggu.
"Syaikh Ali," sapa Aslam, memecah keheningan yang hampir tegang.
Ali menoleh ke arah Aslam, sedikit melengkungkan bibirnya yang tegas. "Bagaimana pertemuannya, Syaikh?" tanya Aslam dengan santai.
Ali menghela napas panjang, matanya tertuju pada para santri yang kini sedang berlatih panahan.
"Semua berjalan lancar. Terima kasih atas bantuanmu dan Feysel," jawab Ali datar, seolah tidak ingin terganggu.
"Tapi kalau ada bonus, kami tidak akan menolak, Syaikh. Setidaknya secangkir teh hangat." timpal Aslam, ia tengah bercanda pada Syaikhnya yang tengah serius itu.
Ali menoleh dengan tatapan tajam, berusaha terlihat serius, namun mulutnya sudah sedikit tersenyum. "Teh hangat, 'ya?" tanyanya datar, sambil mengangkat alis.
Aslam tersenyum kaku, lalu tertawa kecil. "Atau... air putih juga cukup, Syaikh. Aku tidak banyak menuntut."
Feysel menahan tawa di samping Aslam, dan Ali hanya tertawa kecil, berusaha tetap terlihat serius meski tak bisa menahan senyum.
"Baiklah, nanti aku pastikan dapur menyiapkan teh untuk kalian," ujar Ali akhirnya, sebelum kembali mengalihkan pandangan ke arah para santri.
"Syaikh, kira-kira bagaimana sekarang kabarnya Nursema?" tanya Feysel, mencoba mengganti topik pembicaraan.
"Ya, Syaikh. Sudah sembilan bulan sejak kejadian itu, aku tidak pernah melihat Nursema di sekitar taman asrama putri. Apa dia baik-baik saja?" tanya Aslam.
Ali mengangguk pelan. "Ya, dia baik. Zehra bilang, dia sering berada di sekitar asrama, tapi tidak ke taman. Apalagi ke perpustakaan."
"Mungkin dia masih trauma, Syaikh," tanya Feysel, cemas.
"Dia sudah sembuh, Feysel. Ya, sekitar delapan puluh lima persen," ucap Ali dengan serius.
"Aku sangat terkejut saat tahu bahwa dia yatim piatu. Dia akan selamanya di sini," ujar Feysel dengan nada empati.
Aslam mengangguk setuju, "Ya, hanya terjebak di sini seumur hidupnya."
"Ah, jadi kalian pikir asrama ini penjara?" tanya Ali, menatap tajam pada mereka berdua.
Aslam tertawa canggung, "Ah, tidak, Syaikh. Maksudku... dia tidak akan merasakan kebebasan."
Feysel mengangkat alis sebelah. "Kebebasan?" gumamnya.
"Jadi, kalian benar-benar berpikir asrama ini seperti penjara?" tanya Ali, memancing.
Aslam semakin bingung. Ia tidak tahu harus menjawab apa meski ia tahu bahwa Ali tengah bercanda.

KAMU SEDANG MEMBACA
Siyah Güller
RandomDi dalam dinding Asrama Istanbul-Turki, ada suka dan duka yang mereka lalui bersama-sama "Pernikahan ini tidak di dasari oleh rasa cinta. Maaf, jika sebelumnya aku mengecewakanmu." Seiring berjalannya waktu, melalui tragedi dan konflik yang menega...