Bab 35 - Kasih Tulus

92 51 60
                                    

UTAMAKAN VOTE SEBELUM MEMBACA!

TYPO BERTEBARAN

HAPPY READING

•••

Emran berdiri di dekat mobilnya, menunggu Fauziah keluar dari asrama. Ia melihat beberapa santri yang sedang berbincang dan tersenyum ramah pada mereka. Fauziah akhirnya muncul di pintu utama, membawa tas kecil di tangannya.

Emran melambaikan tangan, "Fauziah! Aku di sini."

Fauziah berjalan mendekat, tapi ekspresinya datar. "Kenapa kau datang terlambat? Aku sudah menunggumu."

Emran mengangkat alis. "Terlambat? Kau saja yang terlalu cepat keluar."

"Kau tadi berjanji akan menjemputku sore, tapi ini... Sudah malam!" Fauziah memutar bola matanya, lalu masuk ke dalam mobil tanpa berkata apa-apa lagi.

Emran membuka pintu di sisi sopir, kemudian ikut masuk.

"Maaf, tadi ada kemacetan dijalan." Ucap Emran.

Saat mobil mulai melaju, Emran melirik Fauziah. "Bagaimana kabar bayi kita? Apa dia ikut protes karena aku terlambat?" candanya.

Fauziah tersenyum tipis, "Dia tidak protes, tapi aku yakin dia mulai mirip denganku. Cepat kesal."

Emran tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus bersiap punya dua orang yang akan terus mengomeliku di rumah."

Fauziah menoleh, melotot pura-pura marah. "Jadi kau pikir aku suka mengomel?"

Emran mengangkat bahu sambil tersenyum jahil. "Hanya sedikit. Tapi aku suka itu, membuat rumah jadi lebih hidup."

Fauziah mencoba menahan senyum, lalu berkata, "Kau benar-benar pandai berbicara. Ayo fokus menyetir saja."

"Jadi, bagaimana di asrama tadi? Semuanya baik?" tanya Emran sambil menyetir.

Fauziah menghela napas panjang, "Ya, ada sedikit masalah."

Emran mengernyit, "Apa itu?"

Fauziah menatap Emran kesal, "Sudah aku bilang, fokus menyetir! Aku akan ceritakan ketika kita sampai di rumah!"

Emran lebih memilih untuk diam, dan hanya fokus menyetir.

•••

Santri putri itu perlahan menarik napasnya. Pipi yang basah oleh air mata, ia menunduk, mencoba mengumpulkan kekuatan. Psikolog itu mendekatkan kursinya, berbicara dengan lembut.

"Kau tidak perlu bercerita sekarang jika kau belum siap. Kami ada di sini untuk membantu." ucap Psikolog wanita itu.

Santri itu menggigit bibirnya, menahan perasaan yang terus bergolak di dalam dirinya. Sesekali tangannya menggenggam selimut dengan erat, seolah itu bisa memberikan sedikit rasa aman. Namun, tubuhnya tetap bergetar, dan pikirannya dipenuhi dengan kenangan yang menyakitkan.

Dengan tangan yang masih gemetar, santri itu perlahan menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Matanya terpejam sejenak, seolah berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara.

"Dia memegang tubuhku agar aku diam dan tidak melawan. Lalu..." suara santri itu pecah, tangannya semakin gemetar. Ia menutup wajahnya, berusaha menahan tangisan yang kian membebani dadanya.

Psikolog itu tetap tenang, duduk dengan sikap yang penuh empati, mencoba memberikan ruang bagi santri untuk melanjutkan ceritanya tanpa rasa takut. "Kau tidak perlu terburu-buru, tidak ada yang akan memaksa. Ceritakan sesuai apa yang kau rasakan."

Siyah Güller Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang