UTAMAKAN VOTE SEBELUM MEMBACA!
TYPO BERTEBARAN
HAPPY READING
•••
"Tanpa sadar, manusia seringkali mengucapkan hal-hal yang bisa menyinggung perasaan orang lain," ucapnya, mengawali pembahasan hari itu.
Pelajaran ini adalah tentang adab berbicara dan menjaga lisan, bagian dari pembelajaran akhlak mulia yang sering diajarkan di asrama Al Hadeed.
Para santri mulai mengangkat kepala, memperhatikan dengan lebih serius. Beberapa di antara mereka tampak penasaran ke mana arah pembicaraan Syaikh Ali kali ini.
"Kata-kata adalah senjata. Bisa menjadi penawar, bisa pula menjadi racun. Apa yang keluar dari lisan kita dapat membawa kebaikan, atau justru menghancurkan hati seseorang." lanjut Ali.
Tiba-tiba, seorang santri di barisan depan, Zubair , mengangkat tangan. "Syaikh, apakah artinya kita tidak boleh jujur jika kebenaran itu menyakitkan?" tanyanya dengan raut penuh kebingungan.
Ali tersenyum lembut. "Jujur adalah bagian dari iman, Zubair. Tetapi kejujuran harus disampaikan dengan hikmah. Allah tidak hanya memerintahkan kita untuk berkata benar, tetapi juga berkata dengan cara yang baik. Jika kebenaran itu menyakitkan, sampaikanlah dengan penuh kasih sayang, bukan dengan nada yang melukai."
Kelas kembali hening. Suasana itu terasa seperti menembus hati para santri. Mereka mulai merenungkan bagaimana mereka selama ini berbicara kepada orang lain.
Ali kemudian menutup penjelasannya dengan sebuah hadist.
Ali meletakkan tangan kanannya di dadanya, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda..."
Semua santri yang berada di kelas ikut meletakkan tangan kanannya di dada kirinya sebagai tanda hormat untuk Nabi.
Ali membacakan Hadist nya, "Man kaana yu’minu billaahi wal yaumil aakhiri, falyaqul khairon au liyashmut."
"Artinya, siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam." lanjutnya.
Kata-kata itu menggema di ruangan, seolah-olah menjadi peringatan sekaligus motivasi bagi semua yang mendengarnya.
Seorang santri bernama Ibrahim yang duduk di barisan tengah mengangkat tangannya dengan ragu.
"Syaikh Ali, Aku sering merasa kesal dan tanpa sadar mengucapkan hal-hal yang menyakitkan kepada teman-teman. Bagaimana caranya agar aku bisa lebih mengontrol lisanku?"
Ali menatap Ibrahim dengan penuh pengertian. "Itu langkah awal yang baik, Ibrahim. Menyadari kesalahan adalah tanda keimanan. Untuk mengontrol lisan, kita harus mulai dengan mengontrol hati. Jika hati kita dipenuhi niat baik dan kasih sayang, insya Allah, ucapan kita pun akan mencerminkan hal itu."
Ali berhenti sejenak, memberi waktu para santri untuk merenung. "Selain itu, kita harus membiasakan diri untuk berpikir sebelum berbicara. Tanyakan pada diri sendiri, 'Apakah yang akan aku ucapkan ini membawa manfaat? Apakah ini akan menyakiti orang lain?' Jika ragu, lebih baik diam."
Para santri mengangguk pelan. Beberapa dari mereka mulai mencatat poin-poin penting yang diucapkan Ali.
"Ingatlah, lisan ini akan menjadi saksi di Hari Akhir. Setiap kata yang kita ucapkan akan dipertanggungjawabkan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Siyah Güller
De TodoDi dalam dinding Asrama Istanbul-Turki, ada suka dan duka yang mereka lalui bersama-sama "Pernikahan ini tidak di dasari oleh rasa cinta. Maaf, jika sebelumnya aku mengecewakanmu." Seiring berjalannya waktu, melalui tragedi dan konflik yang menega...