Eleven

1.1K 214 96
                                    

Aku menduduki ayunan tempatku dulu bermain saat masih kecil. Tak terasa, aku sudah sebesar ini dan setelah lulus nanti aku akan meninggalkan tempat ini. Sepi sekali taman ini, mungkin karena musim panas sudah berganti musim gugur.

Sepasang tangan menutupi pandanganku, dari parfumnya aku yakin kalau tebakanku tidak akan meleset, "Babe?"

Suara tawa seorang lelaki mengalun di telingaku, dia menduduki ayunan di sampingku, "Kenapa kau memanggilku ke sini?"

"Memangnya aku tidak boleh memanggil kekasihku sendiri?" aku tersenyum gugup.

Niall menunduk dan terkekeh, "Tentu saja boleh."

"Niall," bisikku sambil menatapnya.

Niall tersenyum, "Ya?"

Aku merasakan Niall menatapku dengan penuh dengan kasih sayang, membuat tanganku terkepal penuh rasa bersalah atas hal yang akan kulakukan nanti.

Aku berusaha menenangkan debaran jantungku yang tidak karuan. Napasku menjadi sedikit terengah-engah. Mataku mendadak terpejam rapat, sementara aku menggigit bibirku untuk mencegahnya bergetar.

Aku terisak dan menutup wajahku, "I'm sorry, Niall."

"Princess, kau kenapa?" Niall langsung berlutut di depanku.

Kepalaku menggeleng kuat, "Maafkan aku."

"Baby, what's wrong?" tanyanya dengan bingung sementara tangannya menyentuh wajahku dan menghapus air mata yang mengalir di sana.

Aku menangkap tangannya dan terus memegangnya, karena aku tahu kalau selanjutnya aku tidak akan bisa menyentuhnya seperti ini.

"Zayn... He kissed me," aku menunduk dan menggenggam tangan Niall dengan erat, "And I let him."

Silence.

Kediaman berteriak dengan sangat kencang di telingaku. Niall tidak bergerak, membuatku khawatir dengan responnya ini.

Dia menatapku tajam dengan rahang yang mengeras.

"Please tell me you're joking. Please, Karen."

Air mataku terjatuh ke atas pangkuanku, "Maafkan aku, Niall. Aku tid--,"

Tangan Niall melesat dari genggamanku, "Are you nuts?" lirihnya dengan suara bergetar.

Sekarang Niall berdiri di depanku, membuatku merasa semakin terintimidasi dengannya. Aku mendongak ke atas dengan ragu.

"I'm so sorry," tangisku.

"It hurts, Karen. It hurts so damn much," Niall menatapku tanpa emosi di kedua matanya.

Aku berdiri dan meraih tangannya, sampai dia menepisku dengan halus. Dengan halus... Bahkan saat Niall marah, dia tidak bersikap kasar padaku.

Aku tidak pernah merasa tidak sebersalah seperti ini sebelumnya.

"I-I want... I want a break up, Niall," akhirnya aku menjatuhkan bom itu.

Silence again.

"So, you dump me after you kissed my bloody friend?" tanyanya dengan mengambil satu langkah mendekatiku, instingku membawaku mundur karena takut.

Tapi Niall menahan pinggangku, "Kenapa kau mundur? Kau tahu kan kalau aku tidak akan menyakitimu, walaupun kau menyakitiku seperti ini?" dia menatapku tajam.

"Sekarang tatap aku, Karen," Niall mengangkat daguku, "And tell me, am I not good enough for you? I love you, Karen Smith. I really do. What else that you want from me? Tell me, Karen," ujarnya dengan mata merah yang terlapisi air mata, "Selama aku bisa mendapatkannya, aku akan memberikanmu semua yang kau minta."

Goodbye // Sequel to HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang