part 8

7 1 0
                                    

Sejak malam itu, Gaza berubah. Senyumnya yang dulu hangat kini seperti hilang bersama angin malam. ia jarang bicara, bahkan sekadar menyapa Valeria. Setiap kali mereka bertemu pandang, Gaza selalu menghindar. Valeria hanya bisa terdiam, menyimpan semua pertanyaannya dalam hati. ia merindukan lelucon Gaza yang selalu menghidupkan suasana kelas. Kini, semua menjadi hening.

Di sela kegelisahan Valeria, Clara, sahabat setianya, merasa tidak bisa hanya berdiam diri. Pada jam istirahat, Clara menarik tangan Valeria tiba-tiba.

“Clara, kamu apa-apaan sih?” Val terkejut dengan apa yang dilakukan sahabatnya.

“Sudah, ikut saja.” jawab Clara singkat,  ia melangkah cepat menuju taman belakang sekolah.

Di taman yang tenang itu, Clara akhirnya berhenti. ia berbalik menghadap Valeria, tatapan matanya begitu serius tetapi juga sangat tulus.

“Val, aku nggak bisa diam lagi. Aku tahu ada yang nggak beres. Kamu berubah, Gaza juga berubah. Aku cuma mau tahu, ada apa di antara kalian?”

Valeria mengalihkan pandangan, mencerna apa yang akan ia katakan. Clara tidak menyerah. ia menggenggam tangan Valeria erat, menyuarakan isi hatinya dengan lembut dan penuh penegasan.

“Dengar, Val. Aku tahu kamu orang yang kuat, mandiri, dan nggak gampang cerita ke orang lain. Tapi aku ini sahabatmu. Aku nggak cuma mau ada waktu kamu seneng aja. Aku juga mau ada waktu kamu butuh tempat untuk bersandar. Dan kali ini adalah waktu yang pas, Val. Lagipula apa gunanya aku di sini kalau kamu terus-terusan memendam semuanya sendiri? Aku nggak bisa lihat kamu seperti ini, Val.”

Kata-kata Clara berhasil meluluhkan hati Valeria, ia tahu Clara sangat mengenal dirinya lebih dari siapa pun, bahkan lebih dari yang ia sadari. Saat teman-teman lain tak pernah benar-benar melihatnya, Clara hadir dengan membawa semua keunikan yang ada dalam dirinya; tingkah absurdnya yang konyol, kecerewetannya kala menceritakan berbagai hal, sifat jahil dan menjengkelkannya, bahkan candaan yang kadang menurutnya nggak masuk akal. Suatu kebahagiaan bagi Valeria bisa berteman baik bahkan Valeria sudah menganggap Clara seperti saudaranya sendiri. Kini, ia merasa bersalah telah membiarkan Clara melihatnya terpuruk tanpa penjelasan apa pun.

“Clara... aku...” Val menatap sahabatnya, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku cuma nggak tahu harus mulai dari mana. Aku takut itu akan membebanimu.”

“Membebani? Val, persahabatan itu bukan soal merepotkan atau nggak. Aku ada di sini karena aku peduli. Apa pun masalahmu, aku nggak janji bisa menyelesaikannya, tapi aku janji nggak akan ninggalin kamu sendirian.”

Valeria menarik napas panjang. ia merasa Clara benar. Mungkin inilah saatnya untuk berbagi.

“Huftt.. semuanya dimulai malam itu, waktu Kak Natan bicara sama Gaza di depan rumah. Aku nggak tahu jelas apa yang sedang mereka bicarakan, tapi aku yakin itu sesuatu yang serius. Sejak malam itu, Gaza berubah. Dia nggak lagi seperti dulu, Clara. Rasanya seperti dia membangun tembok tinggi di antara kami. Aku mencoba untuk nggak terlalu mikirin, tapi aku nggak bisa. Aku ngerasa kehilangan.”

Clara mendengarkan tanpa menyela, matanya terus menatap Valeria, mengusap lembut sahabatnya. Setelah Val selesai bercerita, Clara tersenyum kecil, menyentuh bahu Val dengan lembut.

“Val, apa pun yang terjadi, aku ada buat kamu. Kamu nggak sendirian. Dan kalau ada yang bisa aku lakukan untuk bantu kamu, bilang saja. Aku cuma mau lihat kamu bahagia lagi.”

Saat ini kelas Valeria sedang melaksanakan jadwal olahraga basket. Sebelum kegiatan dimulai, semua siswa dikumpulkan di lapangan untuk pemanasan bersama. Suara peluit melengking, memandu setiap gerakan mereka agar serempak. Namun, Valeria tidak sepenuhnya mengikuti instruksi. Matanya tampak mencari sosok yang seharusnya berada di antara mereka. Tapi sejauh mata memandang, ia tak ada.

Perasaan aneh merayapi hati Valeria, seperti ada kekosongan yang sulit ia abaikan. Begitu kegiatan selesai, langkahnya berat menuju loker sepatu. Di lorong sekolah yang sepi, ia mendengar suara samar, seperti percakapan. Saat berbelok, ia tertegun. Gaza, berdiri tak jauh di depannya, berbicara dengan seorang pria asing yang mengenakan jaket biru gelap. Mata Valeria tertuju pada logo di jaket itu. Logo yang entah mengapa terasa familiar, meski ia tak ingat di mana pernah melihatnya.

“Organisasi kelautan?” pikir Valeria sambil mengerutkan kening.

Saat pikirannya mencoba mengingat-ingat, tanpa sengaja ia menyenggol pot bunga di dekatnya. Suara keras itu memecah kesunyian, membuat Gaza dan pria asing itu serentak menoleh. ia melangkah mendekati Valeria dengan cepat.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” Suaranya terdengar tenang, tapi seperti ada nada penekanan.

Valeria mengangkat kedua tangannya, berusaha menjelaskan, “Aku cuma lewat. Nggak sengaja menyenggol pot itu.”

Pria asing tadi menatap Valeria sekilas sebelum menepuk bahu Gaza. “Kita lanjutkan lain waktu.” katanya pelan, lalu pergi tanpa menoleh lagi. Gaza, yang tampak gelisah, mencoba mengikuti langkah pria itu, tapi sebuah tangan menahan pergelangannya.

“Bisa ikut aku sebentar?” suara Valeria terdengar tegas, meski ada keraguan di dalamnya. “Ada yang ingin kutanyakan.”

Gaza menghela napas panjang. ia tahu tak ada gunanya menghindar sekarang. Akhirnya, ia mengikuti langkah Valeria menaiki anak tangga menuju rooftop sekolah. Angin menerpa lembut wajah Valeria saat ia berdiri memunggungi Gaza, memandang langit biru yang dihiasi awan putih dan burung-burung yang beterbangan bebas. Gaza hanya bisa berdiri di belakangnya, memperhatikan setiap gerakan kecil yang Valeria lakukan.

ia menggigit bibir, mencoba mengabaikan rasa yang mengganggu dadanya. Ada keinginan kuat untuk mendekat, untuk memeluknya, dan mengucapkan kata-kata yang selama ini tertahan. Tapi ia tahu, tidak sekarang. Tidak di saat seperti ini.

“Jadi, ada apa, Val? Apa yang ingin kamu tanyakan?” tanyanya, berusaha terdengar santai dan tenang.

Valeria berbalik, menatapnya lurus. “Apa yang kamu bicarakan dengan Kakakku malam itu?”

Gaza terdiam, berusaha mencari jawaban yang tak akan menyakiti. “Nggak banyak,” katanya akhirnya. “Kakakmu hanya menunjukkan bahwa dia peduli dan sangat menyayangimu.”

Valeria mengerutkan dahi, jelas tidak puas dengan jawaban yang diberikan. “Gaza,” katanya lebih pelan, “ada apa sebenarnya? Apa yang kamu sembunyikan dariku?”

Gaza menatapnya, dalam dan lama, seolah ingin menyampaikan sesuatu melalui matanya. Tapi ketika kata-kata itu nyaris keluar, ia memilih bungkam.

“JAWAB AKU, GAZA!” suara Valeria meninggi. Tangannya mengguncang bahu Gaza dengan putus asa. “Aku nggak tahan seperti ini! Jangan terus-terusan diam!”

Melihat air mata mulai menggenang di sudut mata Valeria, hati Gaza hancur. Tanpa berpikir panjang, ia menarik Valeria ke dalam pelukannya. “Maafkan aku,” bisiknya. “Maaf…”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ketika Ombak Berbicara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang