Gema Ombak dan Senyuman Gaza

13 1 0
                                    

"Tidak, Nathan! Cepat lari, nak, jangan hanya berdiri di situ!" teriak mamanya.

Nathan berjuang keras memapah mamanya di tengah getaran gempa yang dahsyat, ombak laut bergemuruh menghantam bebatuan dengan keras, sementara hujan deras turun dengan sangat lebatnya. Meskipun tubuhnya terasa lemas dan langkahnya terhuyung kesana kemari, ia terus berusaha bertahan semampunya dengan napas terengah. Namun, takdir berkata lain. Tubuhnya sudah mencapai batas, ia tidak bisa berjalan lebih jauh lagi, akhirnya Nathan tersungkur dan terkulai lemas di atas tanah basah.

Papanya, yang sadar, segera berlari sekuat tenaga setelah mengamankan Marvel dan Valeria, tetapi semua sudah terlambat, gelombang laut besar menghampiri mereka. Marvel, yang melihat gelombang besar itu, segera berlari mendekati mereka tanpa berpikir panjang.

"Papaaaa... Mamaaaa... Kakakkk..." Jerit Marvel dengan sangat keras.

Byor..

Dengan cepat, Marvel menyelam ke dalam air, matanya langsung menangkap keberadaan kakaknya yang hanyut terbawa arus. Dengan segera ia berenang lebih cepat untuk mendekat, berulang kali ia mencoba mengulurkan tangannya tetapi gagal karena gelombang laut yang terus menghadang dirinya. Dengan sisa tenaganya, ia akhirnya berhasil dan membawa kakaknya menuju tepi.

"Kakak, bangun kakk!" Pekik Marvel sembari terus mengguncang tubuh Nathan dengan tangisannya yang histeris.

"KAK NATHANNN..."

"Haah... haah... haah..."

"Hanya mimpi, ya?"

Nathan bangun dari tempat tidurnya dan melihat jam menunjukkan pukul 05.10.
Tanpa membuang waktu lama, ia bergegas mandi dan segera turun ke bawah untuk pergi sarapan.

Di sana Nathan menjumpai Valeria yang sedang asyik terpaku pada layar ponselnya sementara Marvel masih sibuk berkutat dengan peralatan dapur.

"Kak, aku berangkat duluan ya,
Pamit Vall setelah mendapat pesan masuk dari Dimas, sahabat masa kecilnya.

"Eh, kok buru-buru? Ini nggak mau di makan dulu Vall?" tanya Marvel sambil meletakkan piring nasi goreng buatannya di atas meja.

"Enggak, Kak. Aku ada piket hari ini, takut keburu telat. Aku berangkat dulu ya, Kak. Dimas sudah nunggu di depan."

Tanpa menunggu jawaban dari kakaknya, Valeria langsung berlari keluar rumah.

"Dim, udah disini lama ya? Maaf ya jadi bikin kamu nunggu."

"Santai aja, Vall. Gue rela kok nunggu 24 jam cuma buat nungguin lo."

"Yeyy, bocah! Bisa aja." canda Vall sambil mengenakan helm yang diberikan oleh Dimas.

Pagi itu, suasana kelas masih sepi. Beberapa siswi duduk berkelompok, bercanda sambil menunggu bel masuk berbunyi. Di sudut lain, seorang siswa asyik dengan ponselnya, menghadap layar dengan posisi miring, seolah terbenam dengan dunia mereka masing-masing.

Dari pojok dekat jendela, Valeria duduk diam sambil membuka buku catatannya. Pandangannya kosong, seolah buku di depannya tidak benar-benar menyita perhatian. Suara bisik-bisik samar mulai terdengar dari kerumunan kecil siswi-siswi di depan kelas.

"Eh, kalian udah dengar belum? Katanya hari ini ada murid baru" lontar seorang siswi dengan antusias.

Percakapan itu sampai juga di telinga Valeria. Namun, alih-alih ikut penasaran, ia hanya mendengus pelan dan kembali memfokuskan pandangan pada buku catatannya.

"Pindahan lagi? Apa istimewanya kali ini?" pikirnya acuh.

Beberapa menit kemudian, bel masuk berbunyi nyaring, menandai dimulainya pelajaran. Suara kursi bergeser dan langkah kaki memenuhi ruangan. Wali kelas mereka, Bu Anita, masuk dengan senyum khas yang tak pernah lepas dari wajahnya. "Selamat pagi, anak-anak," sapanya lembut. "Sebelum kita mulai, saya ingin memperkenalkan teman baru kalian."

Seisi kelas serentak mengarahkan pandangan ke pintu, termasuk Valeria yang hanya melirik sekilas dari balik rambutnya yang tergerai.

Masuklah seorang siswa dengan langkah tenang. Rambut hitamnya tertata rapi, wajahnya tegas, namun tidak terkesan angkuh. Sorot matanya tenang, memancarkan rasa percaya diri dalam dirinya. "Perkenalkan, ini Gaza. Mulai hari ini, dia akan menjadi bagian dari kelas kita. Saya harap kalian bisa membantunya beradaptasi." kata Bu Anita sambil tersenyum ramah.

Gaza melirik sekilas ke arah teman-teman barunya dan tersenyum kecil. "Halo semua. Nama saya Gaza. Senang bisa bergabung di kelas ini." ucapnya dengan nada sopan.

Gaza tidak mengucapkan banyak hal, tetapi itu sudah cukup untuk menarik perhatian sebagian besar siswa di kelas, terutama siswi yang mulai saling berbisik sambil menatapnya.

Namun, Valeria hanya menghela napas pelan. Tatapan matanya hanya sebentar tertuju pada Gaza sebelum kembali tenggelam dalam buku catatannya. "Tidak ada yang menarik." gumamnya lirih.

Ketika Gaza melewati tempat duduk Valeria menuju kursi yang ditunjuk Bu Anita, aroma segar parfum samar tercium, membuat Valeria tanpa sadar mendongak. Pandangan mereka bertemu sesaat, sebelum Gaza tersenyum tipis dan duduk di kursinya.

Bel istirahat berbunyi, menggema di seluruh sekolah. Para siswa segera berhamburan keluar kelas, entah menuju kantin atau sekadar menghirup udara segar.

Valeria tetap duduk di tempatnya. Seolah kelas adalah tempat terbaik baginya saat ini. Di sebelahnya, Clara, teman sebangkunya, sibuk mengamati Gaza yang sedang berbincang dengan Keina, salah satu siswi paling populer di kelas mereka.

"Eh, Val, lo sadar nggak sih? Si Gaza itu gampang banget akrab sama orang baru." Bisik Clara sambil menyikut lengan Valeria.

Valeria hanya mendengus. "Ya baguslah, berarti dia nggak bakal kesepian di kelas baru."

"Tapi lo nggak penasaran, Val? Kayak gimana sih dia sebenarnya?" Clara terus menggoda dengan nada antusias.

"Nggak." jawab Valeria singkat. Ia tak berminat melanjutkan percakapan itu.

Clara menyerah dan akhirnya mengalihkan perhatiannya. Namun, tanpa diduga, Gaza berjalan mendekat.

"Boleh duduk di sini sebentar?" tanyanya sambil menunjuk kursi kosong di sebelah Valeria.

Valeria mengangguk kecil, meski ada rasa gugup yang tiba-tiba menyelusup.

"Aku tadi lihat kamu." ucap Gaza dengan nada santai. "Kayaknya kamu nggak terlalu tertarik pas aku dikenalin tadi."

Valeria tertegun. Ia tak menyangka Gaza akan langsung menyinggung hal itu. "Oh... aku cuma lagi fokus ke catatan aja." jawabnya singkat, mencoba terlihat tenang.

Gaza tersenyum kecil. "Gitu ya? Bagus sih. Nggak semua orang harus langsung penasaran sama orang baru."

Valeria menatapnya bingung. "Kenapa emangnya?"

"Karena biasanya orang buru-buru menilai, dan itu nggak selalu menyenangkan. Aku lebih suka kalau ada orang yang santai, kayak kamu."

Valeria hanya diam. Jawaban Gaza terdengar sederhana, tetapi ada sesuatu yang membuatnya sulit untuk tidak memikirkannya.

"Kalau gitu, aku harap kita bisa berteman." tambah Gaza dengan senyum ramah.

Valeria menunduk, berusaha menyembunyikan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. "Mungkin." jawabnya singkat.

"Mungkin?" Gaza terkekeh kecil. "Oke, aku anggap itu jawaban bagus."

Sebelum Valeria sempat berkata apa-apa, bel masuk kembali berbunyi. Gaza bangkit dan berjalan menuju tempat duduknya. Sebelum pergi, ia menoleh sebentar. "Ngobrol lagi nanti, ya."

Valeria memandang punggungnya yang menjauh. ia tidak tahu apa yang membuat Gaza berbeda, tetapi perasaan aneh yang ia rasakan tak kunjung hilang.

"Kayaknya hari ini benar-benar bukan hari biasa." gumamnya pelan sambil mencoba kembali fokus ke pelajaran.

Ketika Ombak Berbicara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang