Bab 4

3.3K 188 3
                                    

I know you scared, i can feel it
It's in the air
I know you feel that too
-My Heart Is Open, Maroon 5

"Berhenti ngeliatin gue kayak gitu," bentak Gana. Membuat kesadaranku terlempar kembali ke podium tiang bendera. Aku mengerjap beberapa kali, lalu membuang muka.

Aku mulai mendapat kesan dia tidak suka diperhatikan, tapi disaat yang sama aku mengingat bagaimana dia membuat keonaran hari ini, contohnya: membentak penjaga kantin dan bertengkar denganku di koridor, hal ini membuatku berpikir dia malah haus akan perhatian.

Aku mendapati langit diatas sekolah belum menampakkan semburat jingga. Hal yang kupikirkan adalah pulang ke rumah sekarang. Tapi Gana memintaku menemaninya berkeliling Kota Denpasar.

Kupikir aku sudah gila menerima ajakannya tadi. Aku tipe cewek yang bakal menghabiskan banyak waktu dirumah. Aku tidak tahu tempat-tempat di Denpasar yang menarik versi Gana. Aku tidak pernah berhasil membaca Google Maps. Aku merasa aplikasi itu membantuku tersesat, dengan cara yang lebih elit. Lebih parahnya, aku tidak hafal nama jalan dan aku tidak pernah paham arah mata angin. Perfect.

Ibu atau Ayahku selalu mewanti-wantiku agar pergi dengan orang yang dipercaya. Alasannya, agar ketika aku dibawa ke suatu tempat yang tidak kuketahui, orang itu tidak akan menurunkanku sembarangan di pinggir jalan dan tidak berbuat macam-macam.

"Jadi?" ucap Gana menyadarkanku. Pipiku panas, memikirkan hal macam-macam seperti apa yang mungkin dilakukan Gana. Tiba-tiba aku bergidik ngeri.

"Rika!" bentaknya lagi. Kali ini dia berhasil membuatku tercekat. Sialan, harusnya dia bersyukur aku tidak punya riwayat sakit jantung. "Berhenti ngayal bisa nggak sih?"

"Siapa yang ngayal," ucapku menelan rasa kagetku. Dia memutar bola matanya. "Tadi kamu bilang apa?" tanyaku, hampir lupa apa yang kami bicarakan beberapa menit yang lalu.

"Jadi kapan?" tanyanya. Kembali satu tangannya ke dalam kantong celananya. Lalu menggaruk tengkuk dengan tangan satunya.

"Lusa?" Aku baru ingat janjiku pergi bersama Dwi ke pasar buku murah besok sore.

"Nggak bisa," jawabnya cepat.

Aku mengerutkan dahi, "Kenapa nggak?" Tanyaku. Tadi rasanya dia yang paling serius mengajakku keliling Kota Denpasar. Keliling? Ha, serius aku berpikir ini ide yang buruk.

"Soalnya syarat gue kadaluwarsa 24 jam kedepan," ucapnya santai.

"Ha-ha," tawaku datar, apa-apaan dia. Dia pikir makanan. Ngomong-ngomong soal makanan, perutku mulai menjerit-jerit. Hari ini benar-benar menguras tenagaku. Mulai dari adegan menampar Gana sampai dengan satu jam penuh berdiri di depan tiang bendera.

"Gue serius!" kata Gana, kali ini wajahnya dibuat-buat agar terlihat lelah. Enak saja, yang ada juga aku jauh lebih lelah dibandingkan dia. "Gimana kalo sekarang?" tanyanya tidak menyerah.

Mana mungkin. Alasan pertama, aku tidak yakin kami membawa motor apalagi mobil. Karena sudah jelas, kami kelas satu belum diperbolehkan. Dan kami belum punya SIM.

Alasan kedua, ini sudah sore. Pukul berapa ini? Aku melirik jam tanganku. Jam 5 sore. Bagus. Aku pasti sudah menghancurkan niat Ibu bikin kue buat arisan.

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang