Now we got problems
And I don't think we can solve them
You made a really deep cut
-Bad Blood, Taylor Swift ft. Kendrick LamarRika's POV
"Lo sih, dari tadi disuruh makan nggak mau. Abis kan nasinya sekarang."
Kini aku dan Gana tengah berada di salah satu meja di kantin. Kantin masih ramai, jelas saja, waktu istirahat tersisa dua puluh menit lagi. Tapi, baru berjalan sepuluh menit, nasi bungkus, bakso, dan semua makanan di stand sudah ludes.
"Tapi tadi kan aku nggak laper." Tukasku, kulirik dahi Gana yang masih terlipat karena kesal. Cowok itu melontarkan kalimat rutukan waktu satu bungkus nasi campur terakhir diambil seorang cewek tepat ketika kami tiba di stand. Cewek itu lantas mengerjap dua kali menerima reaksi tiba-tiba Gana, lalu cepat-cepat enyah dari hadapan cowok ini. Gana memang tipe cowok yang akan blak-blakan bila sedang emosi. Lihat saja, waktu dia marah sama Kak Gita, nggak segan-segan dia menempelkan permen karet ke rambut cewek itu.
"Yaudah, gue anter lo makan ke luar."
Omong-omong, perutku lapar sekali. Tapi keinginanku makan tak sebesar gengsiku untuk mengakuinya. Melirik jam tanganku, sebentar lagi pukul dua belas siang. "Nggak ah, ntar lagi masuk kelas." Aku menahan tangannya yang kini menarik tanganku, lalu meloloskan cengkraman Gana perlahan.
Seperti biasa dengan mimik datar dengan kedua alis tebalnya yang dinaikkan. Mungkin seorang wanita yang merelakan uangnya untuk mempercantik alisnya akan sangat iri dengan alis Gana. Entah bagaimana, alis cowok ini dengan sempurna membingkai manik mata gelapnya. Memandangnya sekilas saja membuatku sulit lepas dari tatapannya.
"Terus?," tanyanya, membuatku mendengus, seolah dilempar kembali ke kenyataan, dengan backsound suara kaset rusak yang diputar secara rewind. Kenyataan bahwa paras tampan cowok ini tidak sebanding dengan sikap dan pola pikirnya yang diluar lingkaran normal.
"Ya ntar masuk kelas. Kamu gimana sih, kelewat bego apa beneran gila sih?"
"Beneran gila. Yaudah, yuk."
"Eh! Jangan asal narik."
Giliran Gana yang mendengus kesal. "Apa lagi sih? Kalo laper itu lo makan, jangan sok-sokan diet. Ini gue udah baik mau nganterin lo."
Sialan. Siapa yang diet, aku malah kekurangan lemak, tak perlu diet sekalipun tubuhku sudah sangat kurus. "Yang diet siapa sih?"
"Yaudah ayok."
Aku mendesis sembari dengan terpaksa beranjak dari kursi kantin. Seperti biasa seluruh pandangan pengunjung kantin tertuju pada adegan yang dibuat Gana saat menyeretku bak menyeret kantung sampah.
Setibanya di lapangan parkir, seluruh motor masih terpakir rapi. Sementara disisi bale bengong ditengah-tengah deretan kendaraan, berdirilah seorang satpam sekolahku dengan kumisnya yang tebal, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling seperti cahaya lampu menara mercusuar ditengah lautan. Begitu mata bulatnya hampir menangkap sosok kami berdua, aku menarik lengan baju Gana agar menunduk bersembunyi dibalik motor.
"Sssst." Aku menempelkan telunjukku didepan bibir, mencegah protes Gana yang hampir meluap dari bibirnya.
"Apa sih? Kita kan mau makan. Bukan bolos. Kalo lo mati kelaperan, emang tuh satpam mau nanggung?" Ceroscos Gana melepaskan cengkraman tanganku di lengannya.
Sekali lagi perutku yang berbunyi sekian kalinya, mengingatkanku kalimat Gana barusan ada benarnya. Tapi sialan, aku tak mau berakhir diruang kepala sekolah lagi. Gila saja, belum sampai sebulan, aku dan cucu sang kepala sekolah yang terhormat ini sudah bertamu ke ruang kepala seolah-olah ruang itu adalah taman rekreasi. Disambut dengan tatapan menyelidik, kami telah menjalani dua kali interogasi, kami maksudku, Gana, aku, dan Dimas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Different
Teen FictionGana, cowok ugal-ugalan yang selalu bikin onar seantero Jakarta. Sampai, sewaktu lulus SMP, orang tuanya "membuang" Gana ke Bali. Supaya dia jera, begitu kata mereka. Di SMA Swastyastu, Gana bertemu cewek polos yang menarik perhatiannya, Rika namany...