I've been waiting for this time to come around
But baby running after you is like chasing the clouds
-Story Of My Life, One DirectionGana menghentikan motornya tepat di depan Musium Bali. Sebuah musium di kawasan jantung kota Denpasar. Musium ini bersebelahan dengan dua aset ikonik milik Denpasar, yaitu Lapangan Puputan Badung dan Pura Jagadnatha. Keduanya sama-sama punya sejarah, dan keberadaan Musium Bali di tengah-tengah sana seolah menyuarakan: "Kalau kau lahir dan hidup disini, jangan tinggalkan kisah-kisah sejarah kotamu. Sebelum kota ini melupakanmu dan membuatmu asing."
Tapi, mengingat jarum pendek jam tanganku menunjuk kearah angka sembilan, berkunjung ke musium sekarang biasanya hanya dilakukan bagi mereka yang ingin ikut acara uji nyali. Begitu aku turun dari motor Gana, mataku memandang ke sekeliling. Tak banyak orang yang tersisa di Lapangan Puputan. Hanya beberapa orang yang duduk di pinggir trotoar sambil menikmati sate, sisanya sepasang sejoli yang memadu cinta. Uh, aku bergidik melihat beberapa pasangan yang berjongkok di balik semak-semak. Ini pertama kalinya aku berkunjung kesini pada saat malam hari, jadi aku baru tahu ternyata masih ada yang menggunakan Puputan sebagai tempat berekreasi.
Pemandangan kontras aku temui dari cahaya lampu semarak terpancar dari Pura Jagatnatha, kidung-kidung diperdengarkan melalui pengeras suara. Beberapa umat Hindu tampak berbaris memadati pintu masuk Pura, menunggu giliran sambil menjinjing sarana persembahyangan. Pedagang kaki lima yang menjual canang, dupa dan bunga, juga turut meramaikan depan areal pura. Seketika aku mengangkat kepalaku melihat langit, benar saja, hari ini bulan purnama. Setiap bulannya, umat Hindu akan memperingati purnama dengan bersembahyang di padmasana rumah, atau pun pura.
"Tumben lo nggak bawel,"
"Ngapain mesti bawel?"
Gana menyeringai, "Lo kan biasanya nanya... Gana ngapain kita kesini, Gana ini kan udah malem, Gana pulang aja yuk..."
Aku tahu dia sedang mencibirku, tapi aku tak bisa menahan tawaku. "Perhatian banget, pak."
"Najis. GR banget!" Gana pura-pura bergidik. Cahaya lampu jalan sepanjang lokasi parkir Musium Bali untungnya masih terang benderang. Mungkin karena beberapa kantor pemerintahan letaknya sangat dekat dari sini, sehingga wajar saja tempat-tempat dalam radius dua kilometer sangat terawat.
"Kita sekarang mau kemana?" Tanyaku setelah beberapa detik tak ada yang mulai bicara.
"Ayo ikut gue. Tapi, tunggu-" dia merogoh celananya, mengambil ponselnya, menekan beberapa tombol dan membuat flashnya menyala, lalu menyerahkannya padaku. "Ini buat jaga-jaga kalo lo masih takut gelap. Ntar nggak lucu banget ditengah-tengah petualangan kita, lo nangis kaya bayi gara-gara gelap." Katanya dengan wajah serius.
Menyipitkan mataku karena hampir marah, tapi aku tahu Gana tak bermaksud meledek phobia gelapku. Dia hanya tak tahu kisah dibalik itu. "Lebih tepatnya, biar aku nggak pegang lengenmu lagi kan?" Candaku lalu membuatnya mendesis sebal.
"Masih sakit tau, lo main pegang aja lagi. Ntar kalo takut, pegang yang lain. Tangan kek, kaki kek, rambut kek, apa aja dah serah lo." Lihat, gaya bicara cowok ini makin ngelantur.
"Beneran rambut? Oke nanti jangan protes kalo dijambak."
Gana mengelipkan kedua tangannya di saku jaketnya. "Lo bakal keliatan kaya emak-emak ngidam kalo jambakin rambut gue."
"Dan kamu bakal mirip suami yang teraniaya."
"Siapa yang mau jadi suami lo?"
"Yang mau jadi istrimu siapa?"
"Eh diem lo y-" sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya dan melanjutkan perdebatan kami, aku mengangkat satu tangan di depan wajahnya. "Kelamaan, kita kemana sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Different
Teen FictionGana, cowok ugal-ugalan yang selalu bikin onar seantero Jakarta. Sampai, sewaktu lulus SMP, orang tuanya "membuang" Gana ke Bali. Supaya dia jera, begitu kata mereka. Di SMA Swastyastu, Gana bertemu cewek polos yang menarik perhatiannya, Rika namany...