Bab 27

2.5K 126 4
                                    

Don't want for us to end
Where do I start
First you wanna go to the left
And you want to turn right
What Do You Mean, Justin Bieber

Rika's POV

Aku menatap nanar ke arah Dwi. Mataku mulai berat kala kalimatnya tadi seolah diputar ulang di telingaku. Menggema, tiada henti. Dua manik mata milik Dwi yang biasanya terlihat teduh pun, kini melukiskan kehampaan. Lekuk-lekuk keceriaan di wajahnya juga sirna tanpa jejak.

Jemari Dwi meremas ujung selimut yang menutupi tubuhnya dari kaki hingga pinggang. Punggung tangan kirinya masih terpasang jarum dan selang dilapisi perban putih yang terhubung dengan kantung berisi cairan infus disisi tempat tidurnya. Sosoknya yang terbaring lemah tak serta merta mengurangi betapa hebatnya rasa tak suka yang terpancar darinya kepadaku.

Kenapa Dimas lebih memilih menyelamatkanku dibanding Dwi?

"Aku baru ngerti kenapa kamu nggak setuju aku jadian sama Dimas. Ternyata bukan gara-gara buku Wuthering Height, bukan juga karena kamu nganggep Dimas bukan cowok baik-baik."

Aku menggeleng lemah, belum siap mendengar Dwi melanjutkan kalimatnya.

"Buatku, cowok yang suka novel klasik itu jarang. Satu banding sekian. Aku pikir, dari titik itu aku tertarik sama dia."

Aku melihat kerongkongan Dwi yang naik turun. Lantas, dua manik matanya diselimuti cairan bening. Bulu kudukku meremang, ikut merasakan kesedihan sobatku itu. Disaat fisik Dwi bahkan belum pulih benar, deritanya ditambah dengan kenyataan kalau pacar sialannya itu memperlakukannya tidak jelas.

Rasa bersalahku kian menjadi, sampai akhirnya pandanganku ikut diburamkan oleh air yang menggenang di kedua mataku.

"Tapi ternyata, menurut dia nyawamu lebih penting. Lebih penting daripada nyawaku. Kita bicara nyawa, Rik." Nafas Dwi tercekat, air mata turun cepat dari sudut matanya.

"Dan semua orang tau, nyawa bukan sesuatu yang layak diremehin." Lanjutnya.

Wajah Dwi kini setangah basah akibat air mata. "Udah, Wi. Semuanya cuma salah paham."

Dwi mengangkat tangan kirinya lemah ke udara, memperingatiku agar tetap bungkam. "Mungkin kita masih terlalu muda buat ngerti apa itu cinta. Katanya, cinta itu nggak pernah salah. Dan sama sekali nggak boleh disalahkan."

"Aku nggak pernah bisa nyalahin Papa waktu dia milih buat ninggalin Mama demi wanita lain. Tapi, nggak juga berarti aku bisa nerima semuanya, Rik." Aku memutar ingatanku kembali pada kali pertama aku melihat air mata Dwi. Kali pertama aku merasakan sisi lain dari sobatku ini, tak lain tak bukan adalah ketika ia menceritakan kepedihannya melihat Papa dan Mamanya mengakhiri tali pernikahan mereka.

"Kadang ketika kamu duduk sebentar, memikirkan kehidupan yang sedang kamu jalani, kamu bakal sadar betapa hidup ini nggak memperlakukanmu dengan adil." Nafas Dwi beberapa kali tercekat, dan dahinya berkerut seolah menahan sakit yang menggerogoti batinnya. Ditambah fisiknya yang belum sembuh benar.

Ia berhenti sejenak. Tak sabaran dihapusnya bulir-bulir air mata di wajahnya. Ditatapnya aku dengan raut hampa, tanpa ekspresi yang dapat kumengerti. "Aku lagi pengen sendiri. Boleh kan, Rik?" Katanya, dua mata sembab itu tak sudi menangkap mataku.

Begitu aku menutup pintu kamar tempat Dwi dirawat, seketika pening menyerangku. Kepalaku berdenyut cepat, mendadak kurasakan disekitarku mulai buram. Hal terakhir kuingat adalah Gana yang menungguku di luar. Dia yang melihat mataku yang masih sembab, lalu tersenyum ragu sambil menggumamkan sesuatu. Lalu sosok Gana pudar seketika, digantikan dengan suasana gelap mencekam yang menarikku lebih dalam.

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang