AKU tersenyum kecut saat mendapati dirinya yang tengah tertawa bahagia. Bukan, bukannya aku tidak suka melihatnya bahagia. Aku hanya... cemburu pada gadis yang telah menjadi alasan kenapa dia tertawa. Tanpa aku sadari, kedua tanganku sudah terkepal kuat di samping tubuhku sejak tadi.
Menyadari adanya seseorang yang menatap, dia menoleh dengan senyuman di wajahnya. Ah, senyum favoritku. Dia tampak mengatakan sesuatu pada gadisnya sebelum akhirnya beranjak dan mendekatiku yang masih berdiri mematung di depan pintu. Tangannya terjulur ke depan dan bergerak mengacak rambutku dengan gemas. "Kau sudah pulang sekolah, hm?"
Seperti biasa, dia akan melemparkan pertanyaan itu sebagaimana yang dilakukan oleh seorang kakak kepada adiknya. Aku hanya bisa membalasnya dengan anggukkan kepala dan senyuman tipis. Aku melirik gadisnya yang ternyata menatap ke arah kami. Dia tersenyum membuat aku ikut membalas senyumannya, walau aku tidak tahu pasti kalau senyuman yang aku lemparkan padanya adalah senyuman yang tampak tulus.
"Di mana Niall?" Dia melemparkan pertanyaan sambil celingak-celinguk mencari seseorang.
Niall. Aku menarik nafas dalam-dalam, berusaha menekankan diri untuk tidak meneteskan air mata. Aku telah berbuat jahat. Aku telah menyakiti hati orang yang bahkan sangat menyayangiku, melebihi dirinya menyayangi dirinya sendiri. Rasa cinta yang diberikannya padaku, seperti yang aku berikan pada laki-laki di hadapanku ini.
"Dia sudah pulang," jawabku singkat.
Dengan itu, dia hanya mengangguk paham. Sedangkan aku langsung berpamitan pada sepasang kekasih itu, kemudian masuk ke dalam kamarku. Aku mengunci pintu kamarku, lalu melempar asal tas dan sepatuku di ruang yang tidak akan ada satupun orang yang bisa menggangguku. Kakiku langsung bergerak cepat membawaku ke arah ranjang. Tanganku meraih bantal, lalu membenamkan wajah di sana. Aku menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara isakanku, agar tidak ada satupun orang yang akan tahu bahwa aku tampak semenyedihkan ini.
Aku selalu berakhir seperti ini setiap kali melihat mereka yang tampak bahagia, tanpa mengetahui rasa sakit yang selalu aku pendam. Tapi aku bisa apa? Ingin bilang kalau bahagianya adalah bahagiaku pun aku tidak sanggup. Itu sama saja dengan munafik. Aku tidak ingin menambah tingkat angka kemunafikanku lagi dengan mengatakan hal konyol tidak berguna seperti itu. Lagipula, kita semua tahu, tak ada satupun orang yang suka melihat orang yang disayanginya tertawa bahagia bukan dengan dirinya yang menjadi alasan akan hal itu.
Aku punya Niall.
Dia punya gadis itu.
Lantas, kenapa aku harus bersedih setiap kali melihat mereka bersama? Bodoh. Tentu saja karena aku mencintainya. Ditambah lagi, secara perlahan aku telah menyakiti hati sahabatku sendiri. Aku ini memang tidak berguna. Aku pantas mendapat itu semua;
Menyakiti, kemudian disakiti.
•••••
Halo! Aku kembali lagi dicerita ini. Cerita ini emang udah selesai, aku tahu. Tapi rasanya ada yang kurang, bahkan sangat amat banyak sampai-sampai aku nggak merasa puas dengan alur cerita ini. Aku memang bukan penulis handal. Aku hanya penulis amatiran yang hanya bermaksud untuk mengembangkan hobi dan imajinasi yang terlalu liar.
Jadi, aku berniat untuk merevisi cerita ini. Mungkin akan banyak perubahan alur dengan banyak hal yang bakal diubah dan ditambahkan. Mungkin seperti karakter pemain cerita ini. Dan kemungkinan besar, ceritanya bakal lebih berbeda dari yang sebelumnya. Aku bakal semakin banyak nambahin adegan yang menunjukkan kalau Louisa ini memang benar-benar terjebak brother compleks. Dan juga, aku bakal memakai sudut pandang orang ketiga, yaitu sudut pandangnya Louisa.
Untuk itu, tolong dibaca dari awal ya? Tetap vote dan komen. Aku butuh dukungan kalian serta kritikan-kritikan supaya bisa makin bagus nulisnya. Thankyou, xx.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Complex [NEW VERSION]
Fanfiction#1 : narry Iya, aku memang menyukaimu, tapi memilikimu adalah hal yang mustahil. Lantas, apakah aku masih boleh menaruh harapan, sekalipun itu hanya bisa menyakiti diriku sendiri? Cover by: kagraph